Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto menyatakan pengurangan lapisan ozon di atmosfer tengah atau lubang ozon di atas Antartika terjadi setiap tahun.
Dia mengatakan kondisi pengurangan kolom terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, serta menjadi yang terdalam dan terbesar pada tahun 2020.
"Analisis menunjukkan bahwa lubang telah mencapai ukuran maksimumnya," ujar Siswanto kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siswanto menuturkan lubang ozon di atas Antartika pada tahun 2020 membesar dengan cepat sejak pertengahan Agustus dan mencapai puncaknya pada sekitar 24 juta kilometer persegi pada awal Oktober.
Sekarang, dia menuturkan luasnya mencakup 23 juta km2, di atas rata-rata selama dekade terakhir dan tersebar di sebagian besar benua Antartika.
Siswanto mengaku Program Pengawasan Atmosfer Global atau Global Atmosphere Watch (GAW) Badan Meteorologi Dunia (WMO) dan lembaga lainnya, seperti NASA dan BMKG yang memiliki 3 Stasiun GAW di Bukittinggi, Palu, serta Sorong terus memantau lapisan ozon di Bumi.
Pengawasan dilakukan di permukaan maupun hingga ketinggian tertentu.
"Lapisan ozon ini penting karena melindungi kita dari sinar ultraviolet Matahari yang berbahaya," ujarnya.
NASA's Ozone Watch, kata dia melaporkan nilai terendah 95 Unit Dobson yang tercatat pada 1 Oktober. Para ilmuwan melihat tanda-tanda bahwa lubang ozon tahun 2020 sekarang tampaknya telah mencapai batas maksimumnya.
"Lubang ozon tahun 2020 mirip dengan lubang tahun 2018, yang juga merupakan lubang yang cukup besar dan dalam data historis merupakan peningkatan yang signifikan 15 tahun terakhir," ujar Siswanto.
Di sisi lain, Siswanto membeberkan lobang ozon terbentuk akibat atmosfer Bumi yang terus menerus digerakkan oleh sirkulasi angin di seluruh dunia. Akibatnya, gas perusak ozon bercampur di seluruh atmosfer, termasuk Antartika, terlepas dari manapun mereka dipancarkan.
Kondisi meteorologi khusus di Antartika, kata dia juga menyebabkan gas-gas ini lebih efektif mengumpul di sana dan berperan menipiskan ozon karena reaksi kimia dibandingkan di tempat lain.
"Gas-gas perusak ozon itu adalah diemisikan manusia dan merupakan bagian dari gas rumah kaca di antaranya gas klorofluorokarbon (CFC) dan halon (gas yang mengandung bromin)," ujarnya.
Siswanto menambahkan sebagian besar penduduk Bumi yang berada di belahan utara juga menjadi alasan lapisan ozon di Antartika terjadi. Berdasarkan data, dia menyebut sekitar 90 persen emisi terakumulasi dari Benua Eropa, Rusia, Jepang, dan Amerika Utara.
Gas seperti CFC dan halon, yang tidak larut dalam air dan relatif tidak reaktif dari kawasan itu mengalami percampuran dan reaksi kimia di atmosfer dalam satu atau dua tahun ke seluruh atmosfer yang lebih rendah.
CFC dan halon di udara yang tercampur dengan baik itu kemudian naik dari atmosfer bawah ke stratosfer, terutama di garis lintang tropis. Angin kemudian menggerakkan kutub udara itu ke utara dan selatan dari daerah tropis, sehingga udara di seluruh stratosfer global mengandung klor dan bromin dalam jumlah yang hampir sama.
"Ini sebabnya kenapa lobang ozon terbesar umumnya terjadi di lapisan stratosfer (atmosfer tengah)," ujar Siswanto.
Siswanto menegaskan hanya dua cara untuk memperbaiki lapisan ozon yang berlubang, yakni mitigasi dengan jalan pengurangan emisi dan memperbanyak oksigen di atmosfer dari hutan di dunia.
Siswanto mengklaim lobang lapisan ozon Antartika yang kian membesar tidak secara langsung berdampak bagi Indonesia. Sebab, letak Indonesia jauh dari Antartika.
Namun, kondisi itu memiliki dampak yang bersifat global. Semakin menipis lapisan ozon stratosfer Antartika artinya akan menambah pancaran sinar matahari ke bumi, serta menambah energi panas di permukaan dan di atmosfer.
"Akan terjadi amplifikasi peningkatan suhu bumi karena makin banyak lepasan energi panas yang dipantulkan permukaan bumi, sementara panas yang dilepas bumi tidak bisa keluar ke atmosfer luar bumi karena tertahan oleh tebalnya lapisan gas rumah kaca yang menyelimuti bumi sehingga dipantulkan lagi ke atmosfer bawah dan permukaan bumi," ujar Siswanto.
Lebih dari itu, dia menyampaikan Bumi akan mengalami amplifikasi panas. Selain itu, pemanasan global semakin meningkat, serta perubahan iklim kian kuat dampaknya.