Ahli Pandemi dan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan kasus positif Covid-19 tanpa gejala yang dialami Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan merupakan tanda penerapan pembatasan aktivitas dan mobilitas yang lebih progresif harus dilakukan.
Dicky mengatakan orang-orang tanpa gejala (OTG) atau asimtomatik ini tetap dapat menularkan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Orang-orang yang terlihat sehat itu bisa diam-diam dapat menularkan SARS-CoV-2.
"Jadi itu sebabnya jaga jarak jadi penting karena cakupan testing kita rendah, banyak orang tidak melakukan tes. Sehingga ini yang harus jadi catatan adalah setiap orang harus merasa dia sebetulnya membawa virus dalam situasi seperti ini di Indonesia," kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Selasa (1/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dicky mengatakan masyarakat dan pemerintah harus memiliki pola pikir bahwa sebagian besar orang itu membawa virus yang mampu menulari orang lain meski tak memiliki gejala.
Oleh karena itu untuk mengatasi penularan oleh OTG, Dicky mengimbau setiap orang harus merasa bahwa dirinya membawa virus yang bisa menulari orang lain.
"Sehingga ia bisa menjaga dirinya, membatasi dirinya, interaksi dan mobilitas dia sehingga tidak menularkan virus ini sampai terbukti ia negatif," tutur Dicky.
Lebih lanjut, Dicky menyarankan agar pemerintah meningkatkan cakupan testing sebagai solusi untuk mendeteksi para OTG yang bisa menulari orang lain secara senyap.
"Semakin kita meningkatkan cakupan testing, mendeteksi orang-orang yang tidak bergejala ini, tentu semakin memperbesar peluang kita untuk meredam kecepatan penularan virus SARS-CoV-2," ujar Dicky.
Selain meningkatkan cakupan testing, Dicky juga menyarankan agar pemerintah melakukan program pengendalian mutu (quality control/ QC) testing. Pengendalian mutu ini untuk memastikan mutu testing di Indonesia.
Hal ini untuk merespons hasil tes Anies yang tidak langsung menunjukkan positif meski ia rutin melakukan testing.
Dicky mengatakan yang terjadi dalam kasus Anies adalah bukti bahwa melakukan tes tidak langsung menunjukkan status positif meski orang itu benar-benar positif. Baik itu testing pada orang yang tidak bergejala maupun yang bergejala.
"Dari sini kita tahu bahwa perlu ada program berkelanjutan yang disebut QC dari satu program testing. QC ini penting untuk pastikan uji mutu yang dimulai dari proses dari awal, yaitu pengambilan sampel," tutur Dicky.
"Saat ini di Indonesia belum terlihat program dalam penjaminan mutu testing," lanjutnya.
Dicky juga mengingatkan adanya perbedaan hasil testing dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada juga kasus warga negara Indonesia yang dinyatakan negatif di Indonesia, namun malah positif ketika tiba di negara tujuan.
"Seperti di Taiwan dan Jepang di mana WNI membawa hasil negatif, tapi malah positif ketika sampai di negara itu. Apakah ini ada kaitan waktu, pengambilan sampel, atau standar metode tes yang berbeda ini harus diperjelas. Perlu ada litbang kesehatan lakukan analisa QC," kata Dicky.
(jnp/eks)