Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan vaksin covid-19 akan diberikan gratis kepada semua warga. Kabar baik ini disampaikan usai pemerintah mengkalkulasi ulang kebutuhan anggaran dan memastikan vaksinasi bisa didanai sepenuhnya oleh negara.
Namun, perlu diingat bahwa apa yang disampaikan Jokowi belum terealisasi. Artinya, 'rasa aman' yang diberikan pemerintah masih bersifat semu sampai vaksinasi benar-benar dijalankan.
Selain pasokan vaksin dan cara distribusi ke seluruh pelosok negeri, pendataan masyarakat penerima vaksin corona pun masih menjadi pertanyaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana cara masyarakat mendapatkan vaksin gratis? Bagaimana jika masyarakat tidak terdaftar sebagai penerima vaksin gratis? Apa syarat penerima vaksin gratis? Tiga pertanyaan tersebut menjadi tanda tanya besar bagi sebagian masyarakat.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia sekaligus Anggota Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19 Hasbullah Thabrany menjelaskan basis data vaksinasi akan merujuk pada data Dukcapil, sementara untuk tenaga kerja kesehatan akan merujuk data Kementerian Kesehatan.
"Kalau seperti lansia, gampang aja. Cukup KTP, Dukcapil. Misalnya dibuka aja hari ini sampai kapan (jadwal vaksinasi) di fasilitas kesehatan. Yang jadi tantangan, semuanya harus tercatat untuk bisa dipertanggungjawabkan, siapa saja yang sudah divaksin, tepat sasaran enggak (sesuai skala prioritas)," tuturnya saat dihubungi CNNIndonesia.com Jumat (18/12).
Selain Dukcapil, BPJS Kesehatan pun memiliki basis data penduduk Indonesia. BPJS Kesehatan sendiri memegang data 83 persen penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Angka tersebut setara dengan data 224 juta jiwa jika disandingkan dengan data Dukcapil pada semester I 2020 yang mencapai 268 juta jiwa lebih.
Sayangnya, pihak BPJS Kesehatan belum bisa berkomentar terkait rencana vaksinasi pemerintah. Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas menyatakan pihaknya hanya akan menyediakan fasilitas untuk proses registrasi, screening, dan pencatatan pemberian vaksin lewat aplikasi Primary Care (P-Care).
Meski demikian, Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar berpandangan soal basis data penerima vaksin seharusnya bukan masalah besar. Hal ini bisa diatasi melalui institusi puskesmas. Pasalnya, puskesmas telah sangat berpengalaman dalam melakukan vaksinasi seperti program bulan imunisasi anak sekolah yang hampir dilakukan setiap tahun.
Melalui puskesmas, data peserta vaksinasi juga bisa dimutakhirkan dengan mudah. "Lebih valid karena mereka tahu persis kondisi kesehatan tiap penduduk yang bisa dan tidak bisa untuk divaksinasi," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
Jika menggunakan data yang dimiliki BPJS Kesehatan, potensi inefisiensi justru lebih besar. Sebab data lembaga itu terlampau banyak dan harus disortir ulang untuk menentukan siapa saja yang memenuhi kriteria untuk dapat vaksin gratis.
"Tidak perlu pakai data BPJS Kesehatan karena seseorang yang divaksin harus lah yang sehat, dan susah untuk mengeceknya secara langsung," ujarnya.
Di sisi lain, syarat penerima vaksin gratis pun ramai dibahas. Indra menilai menjadikan kepesertaan JKN sebagai syarat untuk program vaksinasi adalah kekeliruan besar jika akhirnya diputuskan. Sebab hal tersebut akan menimbulkan diskriminasi dalam pemberian vaksin.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi sebelumnya menyampaikan pihaknya masih mempertimbangkan syarat penerima vaksin corona secara gratis tersebut. Salah satu syarat yang dipertimbangkan adalah aktif sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Namun, ia menegaskan saat ini pemerintah masih mematangkan petunjuk teknis pelaksanaan vaksinasi tersebut. "Kami masih pertimbangan ya mengenai hal ini," katanya saat ditanya soal kemungkinan kepesertaan aktif BPJS jadi syarat vaksinasi.
Lihat juga:Otak-atik APBN Demi Vaksin Corona Gratis |
Jika kepesertaan ini nantinya benar-benar dijadikan syarat, itu berarti BPJS Kesehatan harus menyusun data lengkap siapa saja yang berhak dalam program vaksinasi gratis.
Hasbullah menekankan dalam tahap pertama, prioritas harus diberikan kepada kelompok rentan yakni tenaga kesehatan. Selain itu ia juga mendorong agar vaksinasi di tahap awal juga dilakukan terhadap lansia di atas 60 tahun yang sebelumnya tak masuk daftar prioritas.
"Kalau yang kami usulkan yang kami usulkan ya lansia duluan. Sama seperti di negara-negara maju juga begitu. Di Amerika, di Inggris," ucapnya.
Dia pun juga mengatakan harus ada kerja sama antar instansi untuk mendata peserta vaksinasi prioritas. Kementerian Kesehatan, misalnya, bisa fokus untuk mendata calon penerima vaksin dari kalangan dokter, bidan hingga perawat yang ada di garda terdepan.
Pemerintah sendiri sebelumnya menargetkan cakupan vaksinasi covid-19 sebanyak 67 persen (herd immunity) atau 107 juta penduduk dari 160 juta dengan rentang usia 18-59 tahun. Dengan jumlah tersebut, dibutuhkan produksi sebanyak 246 juta dosis vaksin.
Dari target cakupan imunisasi sebanyak 107 juta penduduk itu, 75 juta penduduk untuk kelompok sasaran skema mandiri, sementara 32 juta penduduk untuk skema program pemerintah. "Itu harus diubah aturannya karena sekarang udah gratis semua. Enggak ada yang bayar vaksinasi mandiri," tegas Hasbullah.
Ia juga menuturkan bahwa pemerintah tengah melakukan pemetaan siapa saja yang berhak mendapatkan vaksinasi gratis untuk mencapai target herd immunity. "Ini sedang disusun Kementerian Kesehatan dan sudah selesai. Prinsipnya siapa yang berisiko lebih tinggi itu yang duluan," imbuhnya.