Jakarta, CNN Indonesia --
Kobalt merupakan salah satu bahan untuk membuat HP (handphone) atau smartphone yang hampir seluruh warga dunia miliki sehari-hari. Tapi masih banyak yang tidak tahu bahwa hasil tambang asal Kongo itu didapatkan dari hasil kerja paksa yang melibatkan anak di bawah umur dan diupah jauh dari layak.
Mengutip situs resmi Amnesty International, lebih dari 40.000 anak di negara Afrika itu harus memikul berkilo-kilo hasil tambang kobalt setiap hari. Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh untuk upah maksimal US$2 atau setara Rp28.000 saja.
Salah satu bocah penambang yang masih berusia 14 tahun, Paul mengaku sudah dua tahun ia bekerja di tambang kobalt. Namun ia mengatakan sering sakit karena cara kerja yang tidak manusiawi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bisa kerja 24 jam penuh. Datang pagi dan pulang besok paginya. Ibu angkat saya ingin saya sekolah. Tapi ayah angkat saya memaksa saya bekerja di tambang," kata Paul.
Kobalt dikenal sebagai bahan yang penting untuk baterai ponsel pintar. Afrika Tengah dikenal sebagai produsen kobalt terbesar dunia. Apple, Samsung, dan Microsoft merupakan nama perusahaan yang menggunakan baterai lithium dari kobalt hasil eksploitasi anak-anak Kongo.
Beberapa perusahaan lain yang menggunakan kobalt dari Kongo adalah Huayou Cobalt yang merupakan salah satu pedagang kobalt terbesar pemasok komponen baterai litium, selain Ningbo Shanshan dan Tianjin Bamo dari Tiongkok serta L&F Materials dari Korea Selatan.
Amnesty International dan tim peneliti Afrewatch mewawancarai 87 penambang dari lima industri tambang kobalt di Kongo. Mereka juga mewawancarai 18 pedagang kobalt yang mengambil sumber daya dari lima tambang tersebut. Salah satu yang terbesar adalah Huayou Cobalt.
Huayou menyuplai kobalt ke tiga perusahaan komponen baterai lithium. Masing-masing adalah Ningbo Shanshan dan Tianjin Bamo dari China, serta L&F Materials dari Korea Selatan.
Melansir AFP, kobalt dipakai untuk produk baterai berteknologi tinggi, dipakai di iPhone hingga mobil listrik Tesla. Dalam dua tahun terakhir, harganya sudah mencapai US$81.500 per ton.
Dengan predikat pemasok dua pertiga kobalt untuk pasar global, para penambang Kongo menjual biji kobalt berkualitas tinggi hanya sekitar US$7.000 per ton.
Atas fakta itu, Kongo disebut-sebut sangat berpotensi menjadi negara terkaya di muka bumi. Selain penemuan gunung emas yang belakangan membuat heboh warga dunia dan rebutan karena 90 persen tanahnya mengandung emas, Kongo juga kaya akan sumber alam lain.
Sungai Kongo juga merupakan terpanjang kedua di Afrika setelah sungai Nil di Mesir, terbesar kedua di dunia setelah sungai Amazon, dan terdalam di dunia mencapai lebih dari 220 meter.
Selain itu, tanah Kongo juga kaya akan sumber daya alam, khususnya emas dan coltan.
Mengutip Daily Mail, salah satu bahan tambang untuk bahan pembuat alat elektronik adalah mineral coltan. Mineral berharga yang setelah diolah berubah menjadi serbuk logam tantalum.
Logam tantalum memiliki sifat tahan panas dan karat, serta dapat menyimpan tenaga untuk cas baterai listrik lebih lama. Sehingga bahan ini menjadi wajib ada dalam pembuatan baterai ponsel.
Melansir Statista, pertambangan tantalum Kongo dikenal merupakan terbesar. Kongo merupakan penghasil terbesar tantalum, sebesar 670 metrik ton pada 2020 lalu. Disusul oleh Brasil 370 metrik ton, Rwanda 270 metrik ton, Nigeria 160 metrik ton, dan China 70 metrik ton.
Sementara itu, BBC mencatat 80 persen cadangan coltan dunia berada di Kongo. Namun, penambangan coltan di Kongo sendiri masih menimbulkan polemik lantaran melibatkan pekerja di bawah umur.
Mengutip CNN, pada 2018 lalu, investigasi CNN menemukan bahwa pekerja anak-anak masih marak di Kongo. Banyak perusahaan termasuk Tesla mengatakan pada CNN bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya melacak rantai pasoknya, karena kompleks dari sumber logam mulia.
Sementara itu, Dailymail menuturkan para penambang harus membawa hasil hasil coltan yang telah dipisahkan dari tanah menggunakan karung beras berlapis plastik. Mereka berjalan kaki atau naik motor menyusuri jalan tanah tandus yang runtuh dan rusak menuju pusat penimbangan.
Setelah hasil tangkapan mereka ditimbang dan diklasifikasikan, para penambang cuma dibayar US$5 sehari. Angka itu sangat kecil untuk sebuah pekerjaan luar biasa menggali mineral berharga yang memberi daya pada telepon genggam seharga US$500.
Dailymail mencatat kurang lebih 1.400 tenaga kerja di Luwow, Kongo bekerja mencari coltan. Apple dan Samsung Electronics mengakui bahwa mereka menggunakan coltan yang ditambang di Kongo. Sedangkan, Apple mengatakan akan terus melakukannya.
Vendor Ponsel Menikmati Kobalt Tak Sejahterakan Warga Kongo
Laporan Amnesty Internasional, pada tahun 2013 perusahaan dari Korsel dan China disebut membeli lebih dari US$90 juta atau Rp1,2 triliun kobalt. Keuntungan yang mereka dapatkan mencapai puluhan miliar dollar AS. Fakta ini jauh dari upah maksimal US$2 yang diterima anak-anak di Kongo.
Amnesrty Internasional menegaskan industri tambang atau mineral di Kongo adalah tempat kerja terburuk bagi anak-anak. Setidaknya ada 16 perusahaan teknologi yang dimaksud yakni Ahong, Apple, BYD, Daimler, Dell, HP, Huawei, Inventec, Lenovo, LG, Microsoft, Samsung, Sony, Vodafone, Volkswagen dan ZTE.
Tak hanya itu, The Guardian melaporkan bahwa para wanita korban pemerkosaan milisi di Kongo juga dipaksa bekerja untuk menambang emas, Coltan, dan timah dalam status sebagai budak.
Pertambangan Coltan Kongo tercatat dikuasai oleh kelompok milisi yang tak segan membantai seisi desa apabila keinginannya tak dipenuhi. Harga Coltan bisa berlipat ganda ketika dibeli oleh pengepul dan dijual ke perusahaan besar dunia.