Daryono menjelaskan lebih lanjut jalur rekahan pada saat gempa Aceh di tahun 2004 itu terjadi. Menurutnya jalur rekahan membentuk di sepanjang zona subduksi (line source) dari sebelah barat Aceh di selatan hingga Kepulauan Andaman-Nicobar di utara sepanjang sekitar 1500 km.
"Ini adalah bukti bahwa rekahan gempa tektonik terjadi di segmen Megathrust Aceh-Andaman," ujarnya.
Rekahan panjang yang terbentuk di sepanjang jalur subduksi lempeng itu merupakan bukti bahwa deformasi dasar laut yang terjadi bukan disebabkan oleh ledakan nuklir. Karena, kata dia, jika itu merupakan ledakan nuklir maka deformasi akan terbentuk terpusat di satu titik dan tidak berupa jalur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukti lain menunjukan bahwa guncangan dahsyat di Aceh pada 2004 itu awalnya dipicu serangkaian gempa susulan yang banyak di sepanjang jalur Megathrust Andaman-Nicobar pasca gempa utama.
Menurutnya jika tsunami dipicu ledakan nuklir maka tidak ada rekaman gempa susulan yang sangat banyak yang terjadi hingga lebih dari setahun kemudian. Apabila tsunami dipicu oleh ledakan nuklir, maka tidak akan ada rekaman gempa susulan tersebut hingga periode yang sangat lama.
Ia mengatakan mengenai adanya perubahan data magnitudo dan posisi episentrum gempa Aceh 2004 merupakan hal yang biasa dalam analisis parameter gempa.
"Perubahan parameter gempa terjadi karena adanya pemutakhiran data akibat bertambahnya data seismik yang masuk dan digunakan untuk dianalisis oleh petugas di lembaga monitoring gempa," katanya.
Makin banyak data gempa yang digunakan maka, kata dia, hasil parameter gempa makin stabil dan akurat hingga diperoleh hasil final. Demikian juga adanya perubahan episenter Gempa Aceh 2006, disebabkan oleh adanya proses rekahan pada sumber gempa yang bertahap.
Sebelumnya beredar informasi mengenai konspirasi yang terjadi pada tsunami Aceh 2004 silam. Sebuah akun di Instagram menyebut tsunami Aceh merupakan hasil rekayasa senjata thermonuklir Amerika Serikat yang tengah diuji coba.
Dalam postingan tersebut menyebut bahwa badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) beberapa kali merubah data magnitudo dan posisi episentrum pada seismograf di Indonesia dan India.
"Secara sederhana gampa selalu dipicu oleh apa yang disebut frekuensi elektromagnetik pada 0,5 atau 12 Herz, dan bukan merupakan sebuah proses yang terjadi secara mendadak seperti tsunami Aceh," bunyi postingan pada akun knowledgethatyouneed.