
ANALISIS
Hobi Meriung, Netizen RI Bisa Jadi Warga Super Power Internet

Perkembangan teknologi terus mendorong jumlah pengguna internet di Indonesia. Meski jumlahnya masih kalah dari negara maju seperti China dan Amerika Serikat, warganet atau netizen Indonesia terbilang cukup disegani di dunia.
Banyak polemik di dunia maya kemudian menjadi populer di dunia maya akibat aktivitas netizen Indonesia. Tak sampai di situ, kekuatan netizen Indonesia pun bisa membuat objek perbincangan tersebut 'menyerah'.
Baru-baru ini misalnya, netizen Indonesia membuat heboh dengan hilangnya akun Instagram milik turnamen All England dan penutupan kolom komentar Badminton World Federation (BWF). Sebelum itu terjadi, netizen Indonesia menyerbu kedua akun itu.
Pakar Komunikasi Digital Firman Kurniawan menuturkan aksi serbu netizen Indonesia memang tak lepas dari kebiasaan orang Indonesia berkumpul atau meriung untuk ngobrol, dan membahas berbagai hal dalam mengisi waktu di dunia nyata.
Publik Indonesia pun membawa kebiasaan itu ke dunia digital, seperti ke media sosial hingga grup WhatsApp.
"Namun kenyataan bahwa netizen di berbagai dunia bereaksi bersama-sama secara masif dan membuat jera, sesungguhnya bukan fenomena baru," ujar Firman kepada CNNIndonesia.com.
Baik di Indonesia maupun dunia, dia mengatakan gerakan masih itu pernah dilakukan oleh penggemar musik K-Pop dalam event kampanye Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020 lalu.
Itu terjadi saat Presiden AS Donald Trump hendak kampanye di suatu negara bagian. Syarat hadir dalam kampanye, calon hadirin harus membeli tiket secara online.
Namun, calon hadirin tidak datang di hari kampanye setelah tiket diborong dalam jumlah hampir keseluruhan. Gelanggang kampanye Trump tampak sepi, hanya diisi beberapa orang dan tim Trump.
"Yang buruk, ini jadi efek sesungguhnya, pemberitaan media yang membingkai peristiwa itu sebagai olek-olok fans K-POP terhadap Donald Trump," ujarnya.
Di Indonesia, penggemar K-Pop juga muncul dalam pembahasan UU Cipta Kerja. Mereka para pengguna media sosial dengan kekuatan jejaringnya menekan anggota DPR dengan berbagai cara. Termasuk cara yang dilakukan adalah memperkenalkan diri sebagai wanita simpanan para anggota DPR.
"Tujuannya untuk mempermalukan anggota DPR yang disebut. Maka untuk menghindarinya, sang anggota DPR harus membatalkan proses pengesahan UU Cipta Kerja," ujar Firman.
Dari fenomena itu, para pengguna media sosial seolah menyadari kekuatannya sebagai penekan. Kekuatan itu pun diuji coba ulang ketika menanggapi hasil Digital Civility Index yang dirilis Microsoft 2020. Laman komentar Microsoft sampai ditutup karena tak tahan menghadapi caci maki netizen Indonesia.
Demikian pula pada saat polemik pemain catur Dewa Kipas, yang diragukan kemampuannya oleh Federasi Catur Dunia. Terakhir dan fatal saat BWF mendiskualifikasi pemain bulu tangkis Indonesia di kancah All England.
"Hari ini, entah terpaksa atau keharusan tata krama pergaulan, BWF secara resmi meminta maaf kepada Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia atas keputusannya. Jadi yang terjadi adalah kesadaran bahwa bersatunya pendapat yang dimuat pada platform digital merupakan kekuatan," ujar Firman.
Berdasarkan data, Firman menyebut pengguna internet Indonesia mencapai 202 juta dengan 170 juta di antaranya, aktif menggunakan media sosial. Masifnya gerakan yang ditimbulkan oleh kumpulan orang itu, kata dia sangat mampu membangun perhatian berbagai pihak.
"Termasuk pihak lain yang tak turut dalam objek pembahasan. Mereka jadi ikut memberi perhatian, bahkan penilaian," ujarnya.