Jakarta, CNN Indonesia --
Herman Siswanto (43), menunjuk ke arah dinding lembah di utara kampungnya. Lembah yang kini sudah berubah jadi kebun sayuran itu tepat berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.
Saat itu, saya dan Herman bukan hanya berdiri di seberang dinding lembah, tapi juga di tepian jalur Sesar Lembang!
Ia kemudian membongkar kenangan luka lama 10 tahun lalu, ketika gempa mengguncang warga Kampung Muril Rahayu, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat (KBB)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bencana alam yang terjadi tiga hari sebelum Lebaran itu adalah kenangan pahit di balik molek pemandangan Gunung Burangrang yang menjulang dari arah kampung mereka.
Masih jelas dalam ingatan Herman, momen saat ia menjadi saksi gempa Patahan Lembang yang terjadi pada 28 Agustus September 2011 lalu. Gempa bumi berkekuatan magnitudo 3,3 kala itu terjadi akibat aktivitas sesar yang lama diperkirakan tidak aktif, alih-alih data riwayat gempanya yang sangat sedikit. Gempa terjadi sekitar pukul 16.15 WIB.
Herman ketika itu masih berada di rumah kontrakannya. Saat itu, ia sedang berada di lantai dua. Sementara istrinya, Yeti Harianti (44), yang tengah mengandung 6 bulan, tengah memasak di dapur di lantai bawah.
"Kalau gempa kan biasanya bergoyang gitu, ini mah ngagejlig (runtuh atau roboh). Saya ingat pas kejadian tidak ada suara," kata Herman kepada CNNIndonesia.com, pada awal April lalu.
Beberapa detik gempa berlangsung, Herman turun ke lantai bawah rumahnya. Ia menemui sang istri yang sedang memasak. Namun peranti dapur seperti wajan dan panci sudah berantakan.
Ia bersama Yeti lari keluar rumah mencari tempat aman ke tengah lapangan. Situasi saat itu penuh kepanikan. Tidak ada harta benda yang keburu diselamatkan.
Kontrakan rumah Herman yang tidak jauh dari lembah Sesar Lembang rubuh. Ia masih dapat membayangkan begitu kacaunya situasi bercampur kekalutan dari semua warga. Mereka berhamburan lari mencari ke tempat aman.
"Waktu suasana panik gitu, saya dan istri lari keluar rumah. Pas lihat keluar, genteng dan dinding sudah hancur," ujarnya.
Herman menyebut, saat kejadian gempa 2011 itu lapangan dinilai aman seandainya ada gempa susulan. Ia bersama ratusan warga mulai tinggal di dalam tenda yang disiapkan oleh petugas.
"Kurang lebih satu bulan mengungsi. Kebetulan istri lagi mengandung 6 bulan dan saya khawatirkan kandungannya. Untungnya tidak apa-apa," kata Herman yang kemudian menamakan anak pertama mereka, Dias.
Pasca gempa, keluarga Herman harus tinggal di tenda pengungsian. Hanya berselang satu minggu, goncangan kembali melanda Desa Jambudipa, terutama di Kampung Muril Rahayu. Getaran pada 3 September 2011 ini memang tidak sebesar pada 28 Agustus 2011. Hanya saja terjadi beberapa kali pada malam hari bahkan terjadi hingga selang beberapa jam.
Menurut Herman, kepanikan kembali melanda warga desa pada saat itu. Mereka yang sudah kembali ke rumah, panik berhamburan dan mengevakuasi diri ke lapangan.
"Karena khawatir ada susulan, warga ada yang mengungsi lagi. Kerusakannya memang tidak separah waktu gempa sebelum Lebaran," ujarnya.
Selain Herman, warga Kampung Muril Rahayu lainnya, Dadan Supardan (46) juga merasakan trauma yang serupa. Masih lekat dalam ingatan Dadan gempa yang meluluhlantakkan kampungnya pada Agustus 2011.
"Saya juga lagi di rumah. Istri, Ratnasari (36) waktu itu juga lagi mau nyiapin buka puasa. Tiba-tiba dalam beberapa detik itu dinding rumah roboh dan genting sudah hancur ke tanah," kata Dadan yang ditemui sedang mengumpulkan rumput liar untuk pakan ternak sapinya.
Adapun rumah Dadan sendiri berhadapan langsung dengan gawir-gawir Patahan Lembang. Lebih dekat dibandingkan rumah Herman dengan ujung tepian sesar tersebut.
"Rumah saya hancur, atap dan temboknya roboh. Alhamdulillah, walau jadi korban saya masih selamat karena masih dilindungi Allah. Keluarga berhasil menyelamatkan diri," ujarnya.
Dadan berharap tak ada lagi gempa yang terjadi seperti di masa lalu. Sebagai bentuk kewaspadaan, ia sudah menyiapkan barang-barang berharga untuk dibawa ketika gempa terjadi kembali.
"Kalau ada guncangan gempa kita saling memberitahu untuk keluar rumah. Bawa surat-surat penting yang bisa dibawa dengan cepat," katanya.
Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) KBB, gempa pada 28 Agustus 2011 berkekuatan magnitudo 3,3 yang disebabkan oleh pergerakan Sesar Lembang, menghancurkan sedikitnya 278 rumah.
Gempa dengan kedalaman 8 km yang terletak di koordinat 6-4 '59'85 LS,107-34 '12'75' BT itu merusak 268 rumah di Kampung Muril Rahayu, Desa Jambudipa. Rinciannya, 89 rumah rusak ringan, 72 rusak sedang, dan 107 di antaranya tanpa keterangan.
Tingginya angka kerusakan diakui Kepala Desa Jambudipa Cece Suryadi lantaran tidak semua rumah warga sudah menerapkan konsep bangunan yang lebih tahan gempa. Sejauh ini pun belum ada rencana merelokasi mereka ke tempat yang lebih aman.
"Belum, masih jauh dari ideal. Di sini banyak bangunan menggunakan batu dan bata saja karena kemampuan (ekonomi) masyarakatnya belum merata. Tapi minimal dengan kewaspadaan ketika terjadi gempa, masyarakat sudah tahu harus lari kemana," tuturnya.
Selain di Jambudipa, kerusakan juga terjadi di Desa Pasirhalang. Dalam laporan BPBD KBB, sebanyak 10 unit rumah terdampak tanpa ada keterangan jenis kerusakan.
Gempa yang berakibat pada kerusakan itu memperkuat bukti bahwa Patahan sepanjang kurang lebih 29 km itu merupakan sesar aktif. Sebelumnya, potensi terjadinya gempa besar akibat sesar lembang masih jadi bahan perdebatan.
Desa Jambudipa Berjaga
Kejadian bencana alam seperti gempa bumi adalah kejadian khusus karena tidak bisa diduga kapan akan terjadi. Hal yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan reaksi warga dan meningkatkan kemampuan warga menghadapi bencana atau mitigasi. Atau, berinvestasi mengurangi risiko bencana sejak awal membangun rumah.
Cece sudah mengetahui Kampung Muril Rahayu potensi gempa bumi akibat pergerakan Sesar Lembang masih menghantui warganya. Musababnya, garis sesar itu membentang dari timur ke barat termasuk Kampung Muril Rahayu.
"Saya sendiri masih tinggal di sini (Kampung Muril Rahayu). Sebagaimana yang kita tahu, gempa ini kan tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Berarti masyarakat harus waspada, ketika terjadi (gempa) langsung cari lokasi yang lebih aman," kata Cece.
Cece mengklaim, kesadaran warga Kampung Muril Rahayu yang berpenghuni 170 kepala keluarga saat ini sudah lebih maju dari pada tahun sebelumnya. Ia katakan, warga saat ini sudah paham bagaimana melakukan mitigasi bencana gempa.
"Dari pihak BPBD sudah sering ke sini sosialisasi langsung ke warga. Kita kumpulkan elemen RW, kader, karang taruna bahkan sudah pernah simulasi bencana di sini," ungkapnya.
Sekitar dua pekan lalu, Cece mengatakan pihak BPBD datang sosialisasi ke kampungnya. Mereka menanyakan tempat evakuasi.
"Di sini, ada Lapangan Citalio dan Kantor Desa Jambudipa untuk tempat evakuasi. Lapangannya cukup lega," tuturnya.
Di Kampung Muril Rahayu, Yetti (37), istri ketua RW 15 menjadi koordinator penanggulangan bencana bilamana terjadi. Ia bertugas untuk upaya mitigasi bagi warganya.
Warga selalu diingatkan bahwa mereka harus menyimpan segala surat penting dan barang berharga lainnya pada satu tas. Bila gempa bumi terjadi, selain jiwa maka tas itu pula yang pertama diselamatkan.
"Betul, beliau orang Tagana. Dalam proses evakuasi, perempuan, lansia dan anak-anak harus jadi perhatian utama," ujar Cece menambahkan.
Meski demikian Cece tak menampik jika sosialisasi dan edukasi soal mitigasi bencana belum merata. Terlebih minimnya fasilitas marka atau plang kebencanaan belum terpampang di kampungnya.
"Betul, untuk plang itu masih minim. Kita usahakan agar ke depan dibuat plang informasi termasuk jalur evakuasinya," kata Cece.
Sepuluh tahun pasca diguncang gempa bumi, Dadan Supardan masih tinggal di hunian yang sama. Dia membangun ulang hunian bagi keluarganya setelah menjual beberapa ekor sapi dan sedikit uluran bantuan dari sana-sini.
Akibat gempa Sesar Lembang pada 2011 lalu, Dadan menaksir kerugian hingga Rp50 juta. Dengan ekonomi yang terpukul pasca gempa, Dadan kembali membangun mimpinya untuk tetap bertahan menafkahi keluarga.
"Setelah gempa itu saya harus rombak total. Sempat memang dikasih hunian sementara tapi tidak lama. Setelah jual sapi buat benerin rumah, ya lumayan sekarang sudah pakai besi dan diperkirakan bisa tahan gempa," ujarnya.
Dadan pun berharap tidak ada lagi gempa seperti yang terjadi pada 2011. Meski kadang mimpi buruk itu kerap datang ketika ada gempa dari daerah lain.
"Harapan mah inginnya baik-baik saja. Sejak kejadian gempa itu (2011) sulit dilupakan. Kadang kalau ada gempa kecil saja suka kaget," katanya.
Senada dengan Dadan, Herman kini sudah membeli tanah dan membangun rumah hasil menjual ternak. Rumah yang dia kini tempati berada dekat dengan lembah.
"Ketakutan pasti ada, karena bagi ahli yang paham suatu saat akan terjadi lagi. Tapi bagi saya pribadi berserah diri kumaha kersaning Allah (bagaimana kehendak Tuhan)," tuturnya.
Dalam peristiwa itu, Herman bersyukur semua anggota keluarga selamat walau harta bendanya luluh lantak akibat bencana ini. Ia tidak berencana pindah karena sudah turun temurun tinggal di kampung ini.
"Pernah dianjurkan untuk pindah dengan menjual tanah. Tapi kan kalau memerintah mah gampang, coba atuh dibangun sekalian rumahnya. Kan tidak semua ekonominya mampu seperti saya," ujarnya.