Vaksin dengan metode dendritik disebu sangat mahal. Pada satu orang pasien yang diobati dengan metode itu bisa mencapai Rp1 miliar.
Mahalnya metode tersebut terkait dengan prosesnya yang rumit. Para ahli harus mengambil darah, memisahkan sel, menumbuhkan dan memperbanyak sel dendritik lalu dimasukan lagi ke tubuh.
Vaksin ini dikembangkan dan didesain menjadi vaksin yang dapat digunakan seluruh golongan usia, baik tua maupun muda. Tidak hanya itu pengebang juga mendesain vaksin untuk dapat digunakan pada orang dengan komorbid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena bersifat personal maka sel dendritik dari relawan tidak bisa diberikan ke relawan lainnya.
Menurut Terawan, konsep vaksinasi yang general diubah menjadi personal cukup penting, karena kondisi komorbid atau penyakit penyerta setiap individu berbeda.
Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengkritik seharusnya tim uji klinis secara gamblang melaporkan dan mempublikasikan sedari pra klinik hingga perampungan uji klinis fase I.
Apalagi usai tim vaksin nusantara mengklaim adanya daya tahan antibodi yang mampu bertahan seumur hidup. Dengan transparansi upaya itu akan mengurangi pertanyaan dan keraguan publik terhadap hasil keamanan vaksin tersebut.
Pernyataan itu sejalan dengan Ahmad. Ia menyebut tidak ada karya ilmiah yang dipublikasikan dari vaksin tersebut. Saat ini dia hanya mengetahui Terawan baru menguji vaksin nusantara pada 30 relawan yang tidak diungkap secara spesifik penerimanya.
Salah satu tim pengembang vaksin nusantara, Jajang menyebut vaksin nusantara yang berbasis sel dendritik tidak akan mengalami penurunan fungsi manakala virus mengalami evolusi atau mutasi. Dengan temuan itu, Jajang menilai vaksin nusantara dapat digunakan bilamana muncul epidemi hingga pandemi baru di kemudian hari.
Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM menegaskan proses itu tidak untuk kelanjutan izin edar vaksin di Indonesia. Sebab, BPOM masih menunggu kelengkapan dokumen Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari tim vaksin nusantara untuk pemberian Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II.
Rizka sekaligus menegaskan proses pengambilan sampel darah itu bukan bagian dari uji klinis fase II, sebab hingga saat ini BPOM belum mengeluarkan izin PPUK itu. Kepala BPOM Penny K Lukito sebelumnya juga mengungkapkan tim peneliti dari vaksin Nusantara kerap mengabaikan hasil evaluasi yang diberikan oleh BPOM.
Padahal evaluasi itu merupakan hasil kajian dan inspeksi BPOM terhadap hasil uji klinis fase I vaksin Nusantara untuk kemudian menjadi pertimbangan penerbitan PPUK uji klinis fase II vaksin Nusantara.