Jakarta, CNN Indonesia --
Vaksin Nusantara yang diklaim buatan dalam negeri kembali menjadi sorotan, usai disuntikkan kepada relawan yang merupakan politikus senior Partai Golkar, Aburizal Bakrie.
Vaksin Covid-19 yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu merupakan vaksin berbasis sel dendritik. Keampuhan vaksin disebut bisa disesuaikan dengan masing-masing individu penerima dengan melibatkan sel darah penerima vaksin.
Tetapi dalam perjalanan untuk mendapatkan uji klinis fase II tak berjalan mulus. Bahkan vaksin ini tak mendapat restu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan itu sempat menimbulkan kontroversi antara BPOM dan komisi IX DPR RI. Sebagian besar anggota legislatif menilai BPOM berusaha menghalangi vaksin buatan anak bangsa hingga disebut tidak lagi independen.
Berikut jejak kontroversial vaksin nusantara yang dirangkum CNNIndonesia.com:
BPOM Anggap Bermasalah
BPOM menilai dokumen Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) hingga hasil penelitian uji klinis fase I vaksin nusantara belum sesuai kaidah penelitian.
Terawan kala itu menjelaskan rangkaian uji klinis fase I itu dimulai dengan penyuntikan uji klinis fase pertama hingga 11 Januari 2021. Selanjutnya 3 Februari 2021 dilakukan monitoring dan evaluasi.
Uji klinis vaksin itu merupakan kerja sama antara Rama Pharma bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, Universitas Diponegoro (Undip), dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
Jika sesuai rencana dan vaksin nusantara disetujui, maka nantinya akan membutuhkan 180 relawan untuk uji klinis fase II. Lalu dilakukan uji klinis tahap III dengan 1.600 relawan.
Terdapat beberapa alasan BPOM tidak memberikan izin uji klinis tahap II pada vaksin ini.
- Pengajuan izin uji klinis tahap I, II, III dilakukan bersamaan pada 23 November 2020. Padahal pengajuan izin seharusnya dilakukan secara bertahap setelah uji klinis tahap sebelumnya selesai.
- Uji klinis tahap I vaksin Nusantara tidak melalui uji praklinik terhadap binatang, dan langsung kepada manusia.
- Hasil data interim uji klinis fase satu mereka dari pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenisitas selama 1 bulan setelah pemberian vaksin uji berubah-ubah.
- Dari data interim tadi, BPOM menilai masih terdapat ketidaksesuai pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP).
- Vaksin itu tidak memenuhi standar Good Manufacture Practice (GMP) karena sebab ditemukan alat ukur yang tidak terkalibrasi, produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril, produk antigen SARS CoV-2 tidak berstandar farmasi, dan dinyatakan produsen (Lake Pharma-USA) bahwa tidak dijamin sterilitasnya.
- Lalu komponen yang digunakan dalam penelitian uji klinis fase I tidak layak masuk tubuh manusia, sebab komponen bukan masuk farmasi grade.
- Konsep vaksinasi dendritik akan dilakukan di tempat terbuka, padahal seharusnya dilakukan steril dan pada ruangan tertutup.
- Terdapat perbedaan tempat lokasi penelitian dengan komite etik. Penelitian dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang, sementara komite etik dari RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
- Dalam praktik uji klinis yang melibatkan banyak orang asing, pihak penyelenggara tidak dapat ditunjukkan izin penelitian bagi peneliti asing di Indonesia. Selain itu, komponen vaksin sel dendritik kebanyakan didapat dari komponen impor yang terbilang mahal harganya.
Pengembangan Disetop Sementara
Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebut penghentian sementara dilakukan lantaran tim peneliti ingin melengkapi dokumen Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) agar BPOM bisa memberi izin uji klinis tahap II.
Penghentian itu disayangkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Ia menuding BPOM telah menaifkan hasil Rapat Kerja antara Komisi IX DPR, Kementerian kesehatan. BPOM, dan Kementerian Riset dan Teknologi yang diselenggarakan pada 10 Maret 2021.
Dasco menilai seharusnya BPOM memberi jalan vaksin nusantara untuk masuk ke tahap berikutnya, seperti yang sudah dibahas dalam rapat kerja.
Data Penelitian Tidak Transparan
Anggota tim uji Klinis Vaksin Nusantara Jajang Edi Prayitno sempat mengklaim vaksin mampu memberikan daya tahan seumur hidup. Kritik lantas datang dari Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban.
Menurutnya, sejauh ini belum ada satupun pengembang vaksin virus corona di dunia yang secara gamblang sudah berani membuktikan daya jangkauan dan ketahanan antibodi vaksin usai disuntikkan ke tubuh manusia. Ia meminta tim uji klinis vaksin Nusantara tak mengeluarkan klaim sepihak sebelum keseluruhan uji klinis selesai.
Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan seharusnya tim uji klinis secara gamblang melaporkan dan mempublikasikan hasil uji klinis yang sudah dilakukan.
Ia juga menyoroti model vaksin Nusantara yang dinilai tidak cocok untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 massal. Metode sel dendritik yang bersifat individual itu menurutnya bakal memperlambat proses vaksinasi.
Cara Kerja Vaksin Model Dendritik
Metode ini cukup baru digunakan untuk vaksin Covid-19, sebab pengujian vaksin lain kebanyakan menggunakan metode virus inactivated, mRNA, protein rekombinan, hingga adenovirus.
Vaksin nantinya akan membentuk kekebalan seluler pada sel limfosit T. Peneliti menjelaskan cara kerja vaksin ini dibangun dari sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putin yang dipaparkan dengan antigen dari Sars-Cov-2.
Setiap orang akan diambil sampel darahnya untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Cara kerjanya, sel yang telah mengenal antigen akan diinkubasi selama 3-7 hari.
Lalu hasilnya akan disuntikan kembali ke dalam tubuh. Di dalam tubuh, sel dendritik akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap virus corona.