Ahli meminta agar dana pengembangan vaksin Covid-19 lebih diutamakan untuk pengembangan Vaksin Merah Putih di tengah riuh kontroversi vaksin Nusantara.
Sebab, menurut Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo pendanaan yang terbatas itu sebaiknya digunakan untuk mendukung sesama ilmuwan yang berdasarkan kepada teknologi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Dana republik terbatas...prioritaskan pendanaan vaksin merah putih," cuitnya lewat akun resmi @PakAhmadUtomo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, Vaksin Nusantara dikritik lantaran tak memiliki transparansi data terkait hasil uji klinis yang sudah dilakukan. Padahal, publikasi hasil uji klinis penting dilakukan agar bisa dianalisa oleh ilmuwan lain. Artinya, hasil uji klinis tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
Ahmad mengeluhkan hingga saat ini ilmuwan independen seperti dirinya tak bisa mengakses data hasil uji klinis tahap I Vaksin Nusantara.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga belum memberikan persetujuan atas hasil uji klinis tahap I vaksin nusantara. Alasannya, Vaksin Nusantara belum memenuhi berbagai standar pengembangan vaksin yang baik seperti good clinical practice dan good manufacturing practice.
Sehingga, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K.Lukito pun menyatakan vaksin Nusantara belum lulus uji klinis fase I sehingga belum bisa mendapatkan persetujuan untuk fase II.
Vaksin Nusantara bahkan diminta untuk mengulang pengujian agar memenuhi standar. Sebab, vaksin ini pun belum melalui tahap pengujian pada hewan dan langsung masuk uji klinis I terhadap manusia.
Gagasan untuk uji pre-klinik pada hewan bahkan ditolak oleh tim peneliti. Uji non-klinis vaksin Nusantara menurutnya hanya dilakukan pada satu jenis hewan uji yakni mencit, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan terkait keamanan dan imunogenisitas produk uji.
Kajian BPOM terhadap hasil kajian uji klinis fase I kepada tim peneliti vaksin Nusantara. Hasil evaluasi itu di antaranya terkait produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril.
Selain itu, hasil pengujian tahap I ini juga dinilai tidak konsisten. Sebab, Produk akhir dari vaksin Nusantara ini tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik. Peneliti, kata Penny, hanya menghitung jumlah sel saja. Namun, hasil uji pun tidak konsisten karena ada 9 dari 28 sediaan yang tidak diukur, dan dari 19 yang diukur terdapat 3 sediaan yang di luar standar tetapi tetap dimasukkan.
Lewat cuitannya, Ahmad juga mempertanyakan antibodi yang dihasilkan lewat metode sel dendrintik vaksin nusantara. Sebab, pada tahap uji klinis fase 1 yang lalu, tidak jelas berapa persentase relawan yang memunculkan antibodi.
Ahmad menambahkan respon imun vaksin dendrit cenderung menimbulkan imunitas seluler bukan imunitas humoral (pembentukan antibodi). Padahal antibodi penting untuk menyergap virus corona SARS-CoV-2.
Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) menyebut saat ini terdapat enam institusi penelitian dan lembaga pendidikan di Indonesia tengah mengembangkan vaksin Covid-19.
Institusi tersebut di antaranya Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Keenam institusi ini mengembangkan vaksin Covid-19 mereka sendiri dengan metode berbeda. LBM Eijkman mengembangkan dengan platform protein rekombinan, UI dengan platform DNA, MRNA, dan virus-like particle.
Kemudian Universitas Airlangga Adenovirus dan Adeno-Associated Virus-Based, ITB Vector Adenovirus, sementara UGM menggunakan protein rekombinan dan LIPI juga dengan protein rekombinan fusion.
(eks)