Pandu berpendapat hendaknya pemerintah memproduksi vaksin yang sudah banyak dikembangkan di luar negeri saja, namun membeli lisensi untuk kemudian di produksi di dalam negeri.
"Bikin aja pabriknya, terus kita beli hak patennya. Jadi diproduksi di dalam negeri bukan menciptakan [vaksin]," ujar Pandu.
Pandu berharap pemerintah dapat membeli hak paten vaksin covid-19 dari beberapa platform, agar bisa memproduksi vaksin secara masal dan bisa memasok vaksin ke negara lain yang masih kekurangan vaksin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dianggap sebagai salah satu jalan keluar agar Indonesia tidak ketergantungan vaksin dengan negara lain, hingga menstabilkan ekonomi nasional.
"Yang butuh vaksin kan seluruh warga dunia, kita investasi ke sana engga akan rugi, pasti balik modal," tuturnya.
Selain itu, menurutnya jika pengembangan vaksin merah putih usai, pemerintah tidak kebingungan pada proses produksi masal karena sudah berpengalaman dalam produksi vaksin dari berbagai jenis.
Meski begitu, Pandu tak menampik jika pemerintah juga harus mengembangkan vaksin di dalam negeri. Namun jangan dijadikan acuan untuk ketersediaan vaksin buatan dalam negeri.
"Riset jalan terus tapi jangan dijadikan acuan. Biarkan mereka bereksperimen untuk mengembangkan, sementara kita bikin pabrik vaksin untuk vaksin yang terbukti efektif," ujarnya.
Karena dalam pengembangan vaksin ada beberapa langkah yang terbilang panjang, seperti uji coba pada binatang hingga uji coba pada manusia dengan beberapa tahap.
Lebih lanjut, Ahmad pun menekankan perlunya mempersiapkan vaksin lokal. Sebab, hal ini akan menjadi dasar kesiapan dalam negeri.
"Tentu penting karena sekaligus membangun fondasi kesiapan nasional menghadapi pandemi berikutnya dan juga membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan, jangan hanya ekspor bahan mentah saja," tuturnya.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman pun menilai pandemi covid-19 akan berlangsung lama, sehingga Indonesia harus memproduksi atau mengembangkan vaksin agar tidak bergantung pada produksi negara lain.
"Tentu kita harus berupaya untuk ada kemandirian vaksin dengan cara riset dan produksi vaksin sendiri. Salah satu yang harus didorong adalah vaksin merah putih," ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com melalui pesan suara, Rabu (22/6).
Dicky menganggap pemerintah belum serius dalam menangani riset vaksin dan mendorong agar pengembangan vaksin dalam negeri masuk dalam roadmap riset vaksin di perusahaan produsen vaksin dalam negeri, yakni Biofarma.
Lebih lanjut ia berpendapat jika tidak mengembangkan sendiri, pemerintah juga bisa melakukan transfer teknologi dari berbagai platform pengembangan vaksin, seperti yang dilakukan oleh pengembang vaksin asal China, Sinovac.
Dalam kondisi normal pengembangan vaksin bisa makan waktu 10 hingga 15 tahun. Namun, para peneliti dunia berhasil "ngebut" untuk mengembangkan vaksin virus corona.
Sementara vaksin Covid-19 selesai dalam jangka waktu kurang dari setahun. Sejak urutan genom diumumkan Januari 2021, pada Desember Pfizer-BioNTech sudah berhasil mendapat izin edar, seperti dilansir Nature.
Padahal menurut Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS vaksin untuk virus corona belum pernah dibuat sebelumnya seperti dilansir Medical News.
Rekor pembuatan vaksin tercepat sebelumnya berlangsung selama empat tahun untuk penyakit gondok di tahun 1960-an. Kecepatan pembuatan vaksin itu disebut bisa terjadi akibat bantuan kemajuan teknologi biologi molekuler saat ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Vaksin Merah Putih direncanakan masuk tahap produksi pada Kuartal II/2021. Selanjutnya, kandidat vaksin akan mengikuti tahap pengujian vaksin pada umumnya, yaitu uji pre-klinis, uji klinis fase I, uji klinis fase II dan uji klinis tahap III.
Uji klinis tahap III ini akan dimulai pada Kuartal IV/ 2021. Jika lancar, vaksin merah putih untuk Covid-19 itu akan rampung mendapat izin BPOM pada akhir 2022.
Dicky menilai, dalam pengembangan vaksin juga tidak bisa dilakukan terburu-buru, apalagi terpengaruh oleh aspek ekonomi dan politik.
Jika hal itu terjadi, maka dijelaskan Dicky nantinya kepercayaan publik menurun dan masyarakat nantinya tidak ada yang ingin divaksin.
"Vaksin itu harus terbukti aman dan efektif dan efisien. Karena kalau mengejar saja tapi tidak memenuhi aspek [keamanan vaksin ]ya engga ada yang mau divaksin nanti," tuturnya.
(can/eks)