Jakarta, CNN Indonesia --
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj mengingatkan potensi Indonesia bisa didikte oleh negara-negara produsen vaksin virus corona (Covid-19) di masa depan.
"Perang biologi, penguasa industri, kesehatan, industri vaksin misalnya, menjadi panglima yang dapat menguasai kebijakan suatu negara. Kita akan didikte oleh negara yang memproduksi vaksin," kata Said saat berpidato di acara Haul Emas KH Wahab Chasbullah ke-50 yang disiarkan di kanal YouTube NU Channel (23/6).
Menurutnya, negara-negara yang mampu memproduksi vaksin akan menjadi pemenang dalam perang biologi ini. Sementara Indonesia yang masih impor vaksin, jadi negara kalah karena hanya jadi penonton saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah saat ini memang masih bergantung pada belanja vaksin dari luar negeri. Meski demikian, pemerintah menyiapkan vaksin produksi dalam negeri lewat konsorsium vaksin Merah Putih yang mulai dikembangkan pada 2020.
Vaksin ini rencananya mulai diproduksi kuartal II/2021, lakukan uji klinis tahap III pada akhir 2021, dan mendapat sertifikasi BPOM pada akhir 2022.
Menanggapi hal ini Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menilai Indonesia dalam posisi yang tidak terlalu kuat dalam tawar menawar diplomasi global dalam hal ketersediaan vaksin.
Berbeda dengan Said, menurut Pandu Indonesia bisa didikte negara lain dalam konteks ketersediaan vaksin. Misal oleh China, yang merupakan negara produsen Sinovac.
"Iya bisa bisa, vaksin kan diplomatik. Kenapa China jual vaksin ke Indonesia karena hubungan diplomatik juga," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (22/6) malam.
Meski demikian, menurutnya pemerintah bisa melepaskan ketergantungan dengan negara lain, dengan cara memperkuat manufaktur untuk membuat vaksin di dalam negeri.
"Kita bisa bernegosiasi dengan Pfizer, Moderna untuk membeli lisensi vaksinnya atau kita bagi hasil sehingga kita bisa belajar bikin teknologi terbaru," ujarnya.
Di sisi lain, Ahli Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Handoyo menilai sulit menilai akan ada pendiktean satu negara terhadap negara lain pada situasi pandemi.
Sebab, menurutnya secara global pandemi ini membutuhkan semua negara untuk sehat. Karena satu negara yang "sakit" akan mempengaruhi mobilitas global. Apalagi jika yang diisolasi negara sebesar Indonesia.
"Karena nggak ada yang untung kalau masih ada satu negara saja yang bermasalah," tulisnya saat dihubungi via pesan teks, Kamis (24/6).
Beli paten produksi di RI
Pandu berpendapat hendaknya pemerintah memproduksi vaksin yang sudah banyak dikembangkan di luar negeri saja, namun membeli lisensi untuk kemudian di produksi di dalam negeri.
"Bikin aja pabriknya, terus kita beli hak patennya. Jadi diproduksi di dalam negeri bukan menciptakan [vaksin]," ujar Pandu.
Pandu berharap pemerintah dapat membeli hak paten vaksin covid-19 dari beberapa platform, agar bisa memproduksi vaksin secara masal dan bisa memasok vaksin ke negara lain yang masih kekurangan vaksin.
Hal itu dianggap sebagai salah satu jalan keluar agar Indonesia tidak ketergantungan vaksin dengan negara lain, hingga menstabilkan ekonomi nasional.
"Yang butuh vaksin kan seluruh warga dunia, kita investasi ke sana engga akan rugi, pasti balik modal," tuturnya.
Selain itu, menurutnya jika pengembangan vaksin merah putih usai, pemerintah tidak kebingungan pada proses produksi masal karena sudah berpengalaman dalam produksi vaksin dari berbagai jenis.
Meski begitu, Pandu tak menampik jika pemerintah juga harus mengembangkan vaksin di dalam negeri. Namun jangan dijadikan acuan untuk ketersediaan vaksin buatan dalam negeri.
"Riset jalan terus tapi jangan dijadikan acuan. Biarkan mereka bereksperimen untuk mengembangkan, sementara kita bikin pabrik vaksin untuk vaksin yang terbukti efektif," ujarnya.
Karena dalam pengembangan vaksin ada beberapa langkah yang terbilang panjang, seperti uji coba pada binatang hingga uji coba pada manusia dengan beberapa tahap.
Vaksin lokal perlu
Lebih lanjut, Ahmad pun menekankan perlunya mempersiapkan vaksin lokal. Sebab, hal ini akan menjadi dasar kesiapan dalam negeri.
"Tentu penting karena sekaligus membangun fondasi kesiapan nasional menghadapi pandemi berikutnya dan juga membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan, jangan hanya ekspor bahan mentah saja," tuturnya.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman pun menilai pandemi covid-19 akan berlangsung lama, sehingga Indonesia harus memproduksi atau mengembangkan vaksin agar tidak bergantung pada produksi negara lain.
"Tentu kita harus berupaya untuk ada kemandirian vaksin dengan cara riset dan produksi vaksin sendiri. Salah satu yang harus didorong adalah vaksin merah putih," ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com melalui pesan suara, Rabu (22/6).
Dicky menganggap pemerintah belum serius dalam menangani riset vaksin dan mendorong agar pengembangan vaksin dalam negeri masuk dalam roadmap riset vaksin di perusahaan produsen vaksin dalam negeri, yakni Biofarma.
Lebih lanjut ia berpendapat jika tidak mengembangkan sendiri, pemerintah juga bisa melakukan transfer teknologi dari berbagai platform pengembangan vaksin, seperti yang dilakukan oleh pengembang vaksin asal China, Sinovac.
Vaksin saat Pandemi
Dalam kondisi normal pengembangan vaksin bisa makan waktu 10 hingga 15 tahun. Namun, para peneliti dunia berhasil "ngebut" untuk mengembangkan vaksin virus corona.
Sementara vaksin Covid-19 selesai dalam jangka waktu kurang dari setahun. Sejak urutan genom diumumkan Januari 2021, pada Desember Pfizer-BioNTech sudah berhasil mendapat izin edar, seperti dilansir Nature.
Padahal menurut Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS vaksin untuk virus corona belum pernah dibuat sebelumnya seperti dilansir Medical News.
Rekor pembuatan vaksin tercepat sebelumnya berlangsung selama empat tahun untuk penyakit gondok di tahun 1960-an. Kecepatan pembuatan vaksin itu disebut bisa terjadi akibat bantuan kemajuan teknologi biologi molekuler saat ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Vaksin Merah Putih direncanakan masuk tahap produksi pada Kuartal II/2021. Selanjutnya, kandidat vaksin akan mengikuti tahap pengujian vaksin pada umumnya, yaitu uji pre-klinis, uji klinis fase I, uji klinis fase II dan uji klinis tahap III.
Uji klinis tahap III ini akan dimulai pada Kuartal IV/ 2021. Jika lancar, vaksin merah putih untuk Covid-19 itu akan rampung mendapat izin BPOM pada akhir 2022.
Dicky menilai, dalam pengembangan vaksin juga tidak bisa dilakukan terburu-buru, apalagi terpengaruh oleh aspek ekonomi dan politik.
Jika hal itu terjadi, maka dijelaskan Dicky nantinya kepercayaan publik menurun dan masyarakat nantinya tidak ada yang ingin divaksin.
"Vaksin itu harus terbukti aman dan efektif dan efisien. Karena kalau mengejar saja tapi tidak memenuhi aspek [keamanan vaksin ]ya engga ada yang mau divaksin nanti," tuturnya.