Adi mengatakan dalam mengembangkan teknologi, tidak melulu memikirkan modal dan anggaran. Semua bisa dibangun dengan aspek keterdesakan dan keterbatasan. Ia berkisah orang dengan keterbatasan memiliki 1000 akal untuk terdorong mengembangkan sesuatu.
Pria berumur 68 tahun itu menceritakan bahwa ada keterdesakan AS membuat bom atom dan Jerman membuat roket pada masa perang dunia ke dua. Keterpaksaan itulah yang membuat beberapa negara akhirnya menciptakan sesuatu.
"Pertanyaanya adalah, bisa gak kita menciptakan sesuatu tanpa peperangan?" tanya dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai Indonesia memiliki potensi di bidang buah-buahan dan perkebunan. Jika hal itu dikombinasikan dengan ilmu teknologi dan ekonomi, nantinya bisa menciptakan keunggulan di bidang itu agar hasil pengembangan bisa dikirim ke luar negeri dengan kualitas ekspor.
"Saya mengharapkan yang muda-muda melihat ini sebagai kesempatan dan satu tantangan. Suasana ini yang harus diciptakan," ujarnya.
Ia menceritakan ketika mengembangkan perusahaan berbasis satelit di Indonesia. Menurutnya, ia saat itu hanya bermodal ilmu nekat. Lebih dari itu kebetulan belum banyak yang menjalankan usaha di bidang satelit.
"Mungkin saya dulu banyak ilmu nekatnya, saya mencoba dan kebetulan saja bidang ini belum ada yang menjalankan selain Perumtel, sebelumnya gada yang jalankan, dan ternyata saingan kita ga banyak," ujarnya.
Ia menilai setiap generiasi memiliki tantangan yang berbeda beda. Namun dalam mengembangkan teknologi, kata dia, harus memperhatikan aspek yang disebutnya 'Science Dollar'.
Rumus Science Dollar merupakan kolerasi antara buah pikir engineer dengan aspek penjualannya. Jadi, dijelaskan Adi, dalam mengembangkan ilmu sains, harus dilihat juga nilai jualnya dan jangan hanya menciptakan teknologi saja.
Meski terbilang sukses dalam mengembangkan perusahaan satelit di Indonesia, ia juga menuturkan kesulitannya dalam mengembangkan produk satelit.
Adi menceritakan bahwa produk satelit yang ia kembangkan yakni satelit Garuda merupakan salah satu yang tersulit baginya, lantaran pertama kalinya Indonesia memiliki satleit dengan antena setinggi 15 meter, dan memiliki berbagai prosesor. Indonesia saat itu tidak sendiri membangunnya, melainkan bersama Thailand dan Filipina.
Kini tantangannya adalah menurunkan harga untuk telekomunikasi dan broadcasting. Sebagai contoh pada tahun 1974-1975, Indonesia membeli 40 stasiun Bumi dengan harga US$1 juta, jika dihitung inflasi saat ini senilai US$10-15 juta, atau senilai Rp145-218 miliar (kurs Rp14.548).
Namun kini dengan harga Rp7 juta sudah bisa membeli produk stasiun Bumi milik PSN, dan bisa dipakai broadband di mana-mana. Salah satu cara itulah yang kini menjadi tantanganya untuk terus memajukan telekomunikasi di Indonesia.
Saat ini PSN memiliki beberapa proyek pembangunan satelit di Indoneisa, salah satunya proyek pemerintah yakni satelit Satria 1. Satelit itu disebut akan meluncur pada pertengahan 2023, menggantikan Nusantara 2 yang gagal meluncur tahun lalu.
Di samping itu ia berharap anak muda Indonesia bisa menyelami dunia antariksa, untuk mendobrak biaya yang kerap disebut mahal. Pengembangan-pengembangan yang disebut mahal itu lantaran zaman dahulu semua dilakukan dari nol. Kini anak muda dapat menggunakan Google dan Youtube sebagai medium belajar.
"Jadi mungkin sekarang kalau ada anak muda mau bikn roket bisa lihat dari Google atau dari Youtube. Itu mungkin dalam waktu 2-3 bulan sudah mendapat 20-30 persen pengalaman orang. Kalau dulu kan ga bisa, harus dari 0," ujarnya.
Ia lantas mendorong anak muda untuk terus berfikir cepat, agar Indonesia tidak menjadi negara yang ketinggalan sekali dengan negara-negara lain.
"Cita-cita saya sih bikin sesuatu yang bisa dipakai lama, dan sangat bermanfaat. 2024 saya 50 tahun dalam bidang ini. Ayo yang muda-muda muncul dong," tutupnya.