Jakarta, CNN Indonesia --
Kewaspadaan dan penolakan sebagian masyarakat terhadap vaksin tidak berlaku saat pemberian vaksin untuk Covid-19 saja. Penolakan vaksin disebut sudah ada sejak 2 abad lalu, tepatnya saat pemberian vaksin pertama pada abad 18.
Dari ketakutan nyata yang dipicu oleh efek samping hingga studi palsu yang ditambah dengan teori konspirasi, hal itu menjadi faktor sentimen kelompok anti-vaksin selama berabad-abad.
Vaksin sendiri adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk daya tahan tubuh. Vaksin dapat merangsang tubuh agar menghasilkan antibodi yang dapat melawan kuman penyebab infeksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manfaat utama vaksin disebut untuk mencegah penyebaran penyakit menular. Hal ini karena vaksin dapat memberikan tubuh pertahanan dan perlindungan dari berbagai penyakit infeksi yang berbahaya.
Selain itu vaksin juga diyakini bisa melindungi diri dari risiko kematian dan cacat. Vaksin mengandung virus atau bakteri, baik yang masih hidup maupun yang sudah dilemahkan.
1795 - Vaksin Cacar
Ketakutan manusia terhadap vaksin tercatat pertama kali saat wabah cacar membunuh dan menjangkiti hampir jutaan orang di dunia pada tahun 1790-an. Namun akhirnya diberantas dengan program vaksinasi pada 1980.
Pada tahun 1796 seorang dokter asal Inggris, Edward Jenner memiliki ide untuk mengambil sampel virus cacar sapi yang lebih ringan, dan diberikan kepada seorang anak untuk merangsang respon imun.
Proses itu disebut 'vaccsinus' oleh Edward, yang diambil dari kata sapi dalam bahasa Latin. Metode itu disebut berhasil, tapi sejak itu memicu skeptisisme dan ketakutan publik.
1853 - Vaksin Cacar
Di Inggris, vaksin cacar menjadi hal wajib untuk anak-anak pada tahun 1853. Hal itu menjadikan suntikan wajib pertama, dan memicu resistensi yang kuat.
Sebagian orang menolak vaksin tersebut dengan alasan agama. Mereka menyuarakan keprihatinan atas bahayanya vaksinasi yang berasal dari bahan baku hewani. Penolak vaksin juga mengklaim bahwa kewajiban itu telah melanggar kebebasan individu.
1885 - Virus Rabies
Pada akhir abad ke-19, ahli biologi Prancis Louis Pasteur mengembangkan vaksin untuk melawan virus rabies, dengan menginfeksi kelinci dengan bentuk virus yang dilemahkan.
Tetapi lagi-lagi proses itu memicu ketidakpercayaan dan Pasteur dituduh mencari keuntungan dari penemuannya.
1920 - Vaksin Tuberkolosis
Di tahun 1920 vaksinasi terbilang berkembang pesat. Vaksinasi dikembangkan untuk merespon penyakit seperti tuberkulosis dengan BCG pada tahun 1921, difteri pada tahun 1923, tetanus pada tahun 1926 dan batuk rejan pada tahun 1926.
Pada tahun itu juga pertama kalinya para peneliti menggunakan garam aluminium untuk campuran, agar meningkatkan efektifitas vaksin.
Tetapi lebih dari setengah abad kemudian garam-garam ini menjadi sumber kecurigaan, dengan kondisi yang menyebabkan kelelahan yang disebut myofasciitis macrophagic yang diduga disebabkan oleh garam aluminium tersebut.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis terkemuka The Lancet pada tahun 1998, menunjukkan bahwa ada hubungan antara autisme dan suntikan campak, gondok dan rubella yang dikenal sebagai vaksin MMR.
Setelah itu penelitian yang diungkap dalam makalah oleh Andrew Wakefield dan timnya mengklaim bahwa penelitian yang yang diunggah di Lancet merupakan penipuan. Kendati demikian penelitian yang diungkap Andrew ditarik kembali dan Andrew dicoret dari daftar medis.
Meskipun penelitian selanjutnya menunjukkan tidak adanya hubungan seperti itu, makalah palsu masih menjadi referensi untuk para kaum anti-vax.
Campak membunuh 207.500 orang pada 2019, melonjak 50 persen sejak 2016, dan membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi peringatan kepada beberapa negara untuk vaksinasi merespons sebaran penyakit campak.
2019 - Vaksin Flu Babi
Dikutip AFP, penemuan virus flu babi atau H1N1 pada tahun 2009 yang disebabkan oleh famili virus yang sama dengan flu Spanyol yang mematikan, menimbulkan kekhawatiran yang terbilang besar.
Namun begitu H1N1 berdasarkan penelitian lanjutan ternyata flu babi diklaim tidak mematikan. Hal itu membuat jutaan dosis vaksin yang telah diproduksi untuk melawan flu babi dihancurkan. Lantas kedua hal itu memicu ketidakpercayaan publik terhadap kampanye vaksinasi.
Masalah diperparah dengan penemuan bahwa salah satu vaksin yakni Pandemrix, meningkatkan risiko narkolepsi. Dari 5,5 juta orang yang diberi vaksin di Swedia, 440 harus diberi kompensasi setelah mengalami gangguan tidur.
2020 - Vaksin Polio
Setelah penyakit polio diberantas di Afrika sejak Agustus 2020 dengan menggunakan vaksin, vaksinasi polio masih menjadi momok yang menakutkan di Pakistan dan Afganistan.
Di kedua negara itu, mengutip France24, masih menjadi penyebab kelumpuhan anak-anak. Namun teori konspirasi anti-vaksin dianggap terus menghancurkan kehidupan.
Di Afghanistan, kelompok Taliban disebut telah melarang kampanye vaksin dan mengatakan bahwa vaksin itu merupakan cara Barat untuk mensterilkan anak-anak muslim di negaranya.
Sebelumnya, gerakan antivaksin Covid-19 masih terus bermunculan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejumlah aktivis dan musisi seperti Jerinx ikut menyuarakan antivaksin corona. Selain itu, di media sosial, kelompok yang percaya bahwa Covid-19 hanyalah konspirasi masih bertebaran.
Tokoh anti-vaksin paling terkenal di Amerika Serikat adalah keponakan eks Presiden AS John F Kennedy.
Robert F Kennedy, yang merupakan putra mantan Jaksa Agung AS itu secara beberapa kali menentang vaksin melalui media sosialnya. Halaman Facebook anti-vaksin Kennedy itu kini memiliki lebih dari 300 ribu pengikut dan masih aktif memberikan publikasi.
Facebook mengatakan tidak akan menghapus seluruh akun Kennedy dan saat ini tidak akan menghapus secara permanen akun Kennedy.