MEET THE GEEK

Antariksa di Imaji Nusantara: Kisah Bimasakti hingga Aruna

CNN Indonesia
Jumat, 01 Okt 2021 11:20 WIB
Bimasakti telah menjadi penamaan khas galaksi yang dihuni Bumi menjadi bagian dari kearifan ilmu astronomi sejak era nenek moyang. (dok. NASA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Imaji warga nusantara telah memanfaatkan gugusan bintang-bintang di langit dalam kearifan hidup budaya leluhur. Kearifan lokal ini lantas digali kembali oleh Widya Sawitar, salah satu penceramah di gedung peraga simulasi susunan bintang dan benda langit, Planetarium, Jakarta.

Pria yang menerima penghargaan Ganesa Widya Jasa Adiutama dari ITB pada 2018 itu juga aktif menelusuri keterkaitan astonomi dan budaya di Indonesia. Di antarnya keterkaitan ilmu astronomi dengan foklor atau cerita rakyat di tanah air, khususnya di pulau Jawa.

Kiprahnya dalam dunia astronomi sudah dimulai sejak 1992 usai lulus dari program studi ilmu astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Widya bukan orang baru di Observatorium Planetarium Jakarta. Sudah sedari kecil ia wara-wiri di bilangan Cikini raya, Jakarta Pusat. Hal itu lantaran Cikini merupakan tempat tinggalnya sedari kecil.

Ia menceritakan tanah seluas 72.551 meter persegi yang kini bernama Taman Ismail Marzuki itu, semasa kecil kerap disambangi untuk sekedar bermain saat sore hari bersama teman-temannya.

"Ya ke planetariumnya juga istilahnya saya main saja. Dulu kan ini terbuka dan belum banyak gedung-gedung di sini. Adanya Planetarium paling depan ada lagi teater terbuka yang sekarang jadi teater Jakarta," kenang Widya saat ditemui CNNIndonesia.com di Taman Ismail Marzuki, Senin (27/9).

Seringnya bermain di wilayah Planetarium Jakarta, Widya menjelaskan hal itulah yang mempengaruhi dirinya untuk menempuh pendidikan tinggi dengan program studi ilmu astronomi.

"Karena sudah ada di lingkungan astronomi [jadi] memilih ambil jurusan astronomi," pungkasnya.

Widya Sawitar Penceramah Planetarium Jakarta (dok. Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/ HAAJ)

Kisah Bimasakti hingga Aruna

Widya berkisah kaitan ilmu astronomi dengan hasil budaya sangat lekat. Ia mencontohkan piramida di Mesir dan Borobudur di Indonesia merupakan contoh bagaimana erat hubungan budaya dan astronomi.

Selain itu, menurutnya cerita rakyat pun disangkutpautkan dengan astronomi, seperti penamaan pada Matahari di kultur peradaban Jawa.

Berdasarkan temuannya, ada lebih dari 130 nama untuk penamaan Matahari dan lebih dari 30 nama dalam penamaan Bulan yang diambil dari penamaan tokoh wayang.

"Kalau Matahari sekitar 130 nama mungkin yang agak terkenal itu Aditya, Baskoro, Arka, Aruna. Jadi ada 130an nama hanya untuk Matahari saja. Bulan juga ada lebih dari 30 nama," ujarnya.

Kemudian, Presiden Soekarno sendiri sempat menamakan galaksi yang kita huni dengan sebutan khas Indonesia, Bimasakti, alih-alih menggunakan istilah asing.

"Milkyway disebut Bimasakti awal mulanya (merupakan) penggambaran orang-orang dulu ketika membayangkan langit. Dia melihat satu daerah pada awalnya seolah tergambar di langit ada tokoh Bima, yang itu kita kenal sebagai jalurnya Bimasakti. Dan itulah nama galaxy kita," jelas Widya.

Lebih lanjut, menurutnya lakon Bima Sakti sendiri diminta oleh gurunya untuk melakukan sesuatu sebagai pembuktian kesejatian diri. Salah satunya bertempur dengan naga, kemudian dia menang dan berhasil menemukan kesejatian. 

"Makanya muncullah nama Bima Sakti. Silahkan baca kitab Mahabarata, kitab pertama. Di sana ada lakonnya."

Pemandangan gugusan Bima Sakti atau Milky Way saat malam Hari Raya Nyepi tahun Saka 1943 terlihat dari kawasan Ungasan, Badung, Bali, Senin (15/3/2021). Gugusan Bima Sakti terlihat lebih jelas di langit Bali yang gelap gulita tanpa penerangan saat umat Hindu menjalani catur brata penyepian pada Hari Raya Nyepi. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.)

Hercules hingga Naga di Langit


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :