Dengan menggunakan teknologi continuous GPS, nantinya tim peneliti bekerja sama dengan iOS sehingga terekam segala pergerakan lempeng yang ada di zona subduksi tersebut.
"Kemudian bisa di pahami bahwa pergerakan lempeng di zona subduksi itu kurang lebih antara 50 milimeter per tahun sedangkan di daerah Sumatra nya sendiri antara 10 sampai dengan 15 milimeter per tahun," ujar Andrin.
Selain itu, Andrin mengatakan bahwa penelitian untuk mengenali ancaman gempa bumi juga harus dilakukan dengan melacak sejarah terjadinya gempa dengan melihat rekaman yang terdapat di pertumbuhan dari koral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi Ketika coral tumbuh di bawah permukaan air laut, maka is akan tumbuh keatas, kemudian jika ia menyentuh ke permukaan laut maka pertumbuhannya ke samping.
Dan apabila terjadi gempa bumi yang menyebabkan penurunan air laut, maka pertumbuhannya akan berhenti dan kemudian permukaan air Kembali normal maka ia akan tumbuh ke samping.
"Sehingga dari rekam pertumbuhan koral ini maka bisa di ketahui sebenarnya periode ulang kapan terjadinya gempa bumi dan gempa-gempa besar yang terjadi di sebelah barat sumatera di zona subduksi," jelas Andrin.
Terkait ancaman gempa dan tsunami, Andrin berpendapat bahwa peneliti dan masyarakat perlu menurunkan kerentanan yang ada di masyarakat, dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bisa menghadapi ancaman bencana.
Jika masyarakat mengenali ancaman dan mengetahui kapasitasnya maka dengan sendirinya masyarakat akan mempunyai suatu kemampuan untuk menghadapi bencana.
"Apabila kita bisa mengenali kapasitas tapi tidak bisa mengenali ancaman maka kita akan selalu mengalami kerugian Ketika terjadinya suatu bencana. Jadi kita harus mengenali musuh, kita juga harus meningkatkan kemampuan kita untuk menghadapi musuh itu. Dalam ini adalah ancaman dan bencana itu sendiri," pungkas Andrin.
(mrh/eks)