Sejak awal yang diinginkan statusnya apa untuk Eijkman?
Pada awalnya kita satu lembaga yang langsung bertanggung jawab pada pemerintah sementara disamping kita ada lembaga yang namanya Proyek Pengembangan Lembaga Eijkman untuk memenuhi ketentuan peraturan saat itu terkait penerimaan dana pemerintah, saat itu ya. Saya tidak bisa menerapkan peraturan saat itu 25 tahun lalu, dengan standar aturan saat ini. Pak Habibie menargetkan Eijkman sebagai LPMD Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Dalam SK ada pernyataan Menristek "menunggu Keppres, SK ini diterbitkan". Jadi sudah ditargetkan ke sana, tapi sampai saya step down dari posisi direktur, masalah status masih belum tuntas.
Saat saya turun itu lah kemudian benar-benar Lembaga Eijkman masuk dalam birokrasi Kementerian Ristek, masuk dalam Ristek Dikti saat itu. Tahun 2014 saya step down dan dari 2014 masih dicarikan bentuk untuk Lembaga Eijkman. Ini makan waktu saya banyak sekali, kebutuhan mencarikan status final untuk Lembaga Eijkman. Ini adalah tantangan terbesar selama saya memimpin Lembaga Eijkman 1992 sampai dengan 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari situasi sekarang ini yang paling Anda khawatirkan apa?
Kalau ini diteruskan dengan peneliti harus berstatus ASN sementara yang lain ditinggalkan, itu boleh dibilang hilang sudah Lembaga Eijkman. Sebagian yang cukup besar dari awak Lembaga Eijkman itu memang tidak bermaksud bergabung dalam BRIN. Kalau bukan ASN kan mereka bisa cari tempat sendiri.
Lihat Juga : |
Anda melihat seolah legacy Eijkman sampai di sini saja?
Betul. Tapi itu keprihatinan pertama. Ada keprihatinan yang lebih besar lagi: bagaimana dampak dari kepercayaan dunia internasional, kepercayaan para peneliti di Indonesia terhadap dukungan pemerintah pada pengembangan ilmu pengetahuan - kepercayaan itu akan hilang.
Banyak peneliti kita yang akan (memilih) pergi. Orang mungkin bilang "biarkan saja mereka pergi". Tapi siapa lagi yang cukup gila seperti saya kembali ke Indonesia membangun ke depan setelah melihat apa yang terjadi saat ini, mengorbankan kemapanan di LN, berkiprah di tingkat internasional, dihargai, dengan salah satu lab paling aktif di Monash University kembali ke Indonesia membangun semua ini 25 tahun dan kemudian apa yang dibangun ini hilang. Hilang begitu saja.
Apa kira-kira sikap Pak Habibie kalau beliau melihat ini?
Pak Habibie akan bereaksi. Saya yakin sekali. Pak Habibie tahu betul bahwa meningkatkan peran pemerintah/birokrasi terhadap kegiatan kelembagaan itu akan membunuh kegiatan ilmiah.
Karena cara berpikirnya sangat berbeda. Pak Bambang (Brodjonegoro, mantan Menristek) menginginkan BRIN hanya sebagai coordinating body, otonomi masing-masing lembaga tetap penting. Tidak bisa misalnya ditentukan dari atas bahwa ini grup kamu dan ini orang-orangnya. Bukan begitu cara lembaga penelitian dibangun.
Kalau di Lembaga Eijkman ini kalau ada orang baru, bukan saya yang memilih. Mereka sendiri mencari orang yang cocok dengan grupnya kemudian dilaporkan kepada saya, sebagai direktur. Saya ikut menilai, tapi bukan Pak Habibie ikut campur. Kita dikasih kebebasan penuh.
Kita sudah sampaikan ini. Kan sebelumnya saya juga pernah menjabat sebagai Ketua AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) sampai 2018. Sudah dari awal AIPI menyampaikan bahwa superbody, dimana semua kegiatan dikontrol dari atas itu akan merusak kegiatan ilmiah di Indonesia. Dari awal kita sudah mengatakan itu dan bukan hanya saya. Semua penelitian itu butuh ekosistem yang sehat. Tapi ekosistem ini, budaya ilmiah ini seperti juga pada semua manusia ini tidak bisa disamaratakan. Yang cocok di Lembaga Eijkman ini belum tentu cocok di lembaga lain, tetapi idenya barangkali bisa sama.
Bagaimana sikap ilmuwan diaspora Indonesia melihat ini? Apakah muncul misalnya sikap: sudah lah tidak usah pulang ke Indonesia kalau begini.
Sangat, sangat. Beberapa hari yang lalu saya ada diskusi melalui Zoom dengan peneliti Eijkman dari grup Human Genome Diversity. Salah satu alumni yang sedang di luar mengatakan: kalau pulang saya akan pulang kemana? Rumahnya sudah tidak ada, Lembaga Eijkman. Ini kehilangan sangat besar. Bukan cuma mereka, juga research assistant yang tidak bisa diterima di BRIN karena belum S3 sebagai syarat ASN itu akan hilang semua. Padahal sudah dididik untuk tugas-tugas yang sangat critical untuk jalannya suatu lembaga penelitian.
(sur)