Elon Musk Ingin Kembalikan Trump, Negara Diklaim Masih Bisa Sensor

CNN Indonesia
Senin, 16 Mei 2022 16:32 WIB
Pemerintah dinilai masih bisa melakukan 'sensor' terhadap Twitter jika Elon Musk ingin menghidupkan kembali akun provokatif seperti milik Donald Trump.
Miliarder Elon Musk ingin membuka blokir terhadap akun-akun kontroversial, termasuk eks Presiden AS Donald Trump. (Foto: AFP/JUSTIN SULLIVAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah disebut masih bisa menyensor Twitter meskipun miliarder Elon Musk bakal membangkitkan kembali akun-akun provokatif dan penebar hoaks.

"Iya harus begitu. Negara tidak boleh tunduk oleh sebuah perusahaan platform. Negara harus punya visinya masing-masing," kata Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan, kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Kamis (12/5).

Ia mencontohkannya dengan aplikasi pesan instan Telegram yang sempat meresahkan karena menjadi sarang grup-grup propaganda terorisme. Meskipun batal diblokir, Telegram akhirnya memberikan akses kepada pemerintah untuk mengatur konten yang dinilai membahayakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika Telegram digunakan untuk pertukaran informasi terorisme dan sebagainya, maka pihak berwenang diizinkan untuk masuk dan negara bisa minta take down (penurunan konten)," tuturnya.

Sebelumnya, Musk jauh-jauh hari sudah menggaungkan kebebasan berpendapat di Twitter meski tetap mengacu pada hukum yang berlaku. Belakangan, ia berencana untuk membuka blokir terhadao akun Twitter eks Presiden AS Donald Trump.

Padahal, sejumlah pihak menilai kicauan Trump berkategori hoaks dan memicu kerusuhan pada Pilpres AS 2020.

Firman memprediksi kebijakan Musk itu bisa berpotensi membuat kaburnya para pengguna Twitter ke platform media sosial lain, atau setidaknya rehat sejenak dari Twitter.

"Ketika nanti Elon Musk tetap membiarkan ide dia untuk menjadikan Twitter itu sebebas-bebasnya, mungkin ditolak di beberapa negara," tandasnya.

"Atau orang-orang tertentu akan mengundurkan diri, sama seperti orang Indonesia ketika banyak kampanye hitam jelang pilkada. Banyak yang mengundurkan diri sejenak menunggu pilkada selesai, hingga enggak mau lagi pakai Facebook," ungkapnya.

Firman mengatakan kebebasan di jagat maya tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pasar. Menurutnya, tetap harus ada peran pengelola media sosial dengan mempertimbangkan budaya di tiap wilayah.

"Twitter yang di bawah Elon Musk berpotensi enggak sesuai dengan definisi kebebasan berekspresi masing-masing negara dan budaya," tutup Firman.

Sebagai informasi, kepemilikan saham Twitter akan dibeli oleh miliarder asal AS, Elon Musk senilai US$44 miliar. Belum rampung prosesnya, Musk mengungkapkan sejumlah rencana di Twitter, termasuk memaksimalkan potensi kebebasan berpendapat.

(arh/can/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER