Juru bicara Facebook, Twitter, YouTube, dan Reddit sama-sama mengklaim melarang berbagi video penembakan itu di situs mereka dan bekerja untuk mengidentifikasi serta menghapus salinannya. Sementara, TikTok tidak menanggapi permintaan klarifikasi CNN.
Facebook menyertakan peringatan bahwa tautan tersebut melanggar standar komunitasnya tetapi masih memungkinkan pengguna untuk mengklik dan menonton video. Perusahaan induk Facebook Meta (FB) mengatakan telah menghapus tautan tersebut setelah CNN menanyakannya.
Juru bicara Meta pada Sabtu (14/5) menetapkan acara tersebut sebagai "serangan teroris," yang memicu tim internal perusahaan untuk mengidentifikasi dan menghapus akun tersangka, serta mulai menghapus salinan video dan dokumen dan tautan ke mereka di situs lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut The New York Times, video tersebut diunggah di layanan Streamable dan dihapus setelah dilihat lebih dari 3 juta kali, dan tautannya dibagikan di Facebook dan Twitter.
Seorang juru bicara Streamable mengatakan kepada CNN bahwa perusahaan itu "bekerja dengan sigap" untuk menghapus salinan video tersebut "dengan cepat. Namun, ia tidak menanggapi ketika ditanya bagaimana satu video mencapai jutaan penayangan sebelum dihapus.
Salinan dokumen yang diduga ditulis oleh penembak diunggah ke Google Drive dan situs penyimpanan online lain yang lebih kecil dan dibagikan selama akhir pekan melalui tautan ke platform tersebut. Google tidak menanggapi permintaan komentar tentang penggunaan Drive untuk menyebarkan dokumen itu.
Peristiwa penembakan di Buffalo terjadi di tengah-tengah usaha Elon Musk membangkitkan sejumlah akun yang diblokir Twitter karena ujaran kebencian dan SARA, termasuk akun mantan Presiden AS Donald Trump.
![]() |
Musk sendiri berdalih keputusannya itu dilatarbelakangi kebebasan berbicara. Namun para ahli menilai langkah Musk justru membuat Twitter bisa menjadi ladang ujaran kebencian.
"FBI memperingatkan tentang kekerasan ekstrim dan Elon Musk sepertinya tidak mengerti atau tidak peduli soal itu dan dia berpikir moderasi konten adalah hal yang buruk," kata mantan Duta Besar AS untuk Organisasi Pengembangan dan Operasi Ekonomi (OECD) seperti dilansir Euronews.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan, negara harus hadir untuk tetap menjaga masyarakat tetap kondusif. Penyensoran oleh negara pun dianggap bisa dilakukan.
"Iya harus begitu. Negara tidak boleh tunduk oleh sebuah perusahaan platform. Negara harus punya visinya masing-masing," katanya.
"Twitter yang di bawah Elon Musk berpotensi enggak sesuai dengan definisi kebebasan berekspresi masing-masing negara dan budaya," ujar Firman menambahkan.
(nto/arh)