Masih banyak warga daerah yang salah paham dengan program migrasi televisi analog ke televisi digital (analog switch-off/ASO). Selain itu, izin siaran digital dinilai terlalu mahal bagi televisi lokal.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, dalam Rapat Kerja bersama Menteri Komunikasi dan Informatika di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (8/6), menjelaskan dalam beberapa kali kegiatan reses, masyarakat masih menganggap ASO sebagai program berbayar.
"Masyarakat awalnya 'dihantui' informasi bahwa harus bayar tiap bulan karena banyak tidak mengerti terkait program ASO ini. Justru saya khawatir masyarakat resah sehingga ketika saya jelaskan, mereka baru mengerti," ujarnya, dikutip dari situs resmi DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping itu, masih banyak warga yang tak tahu soal tenggat suntik mati siaran analog.
"Ketika saya tanyakan kepada masyarakat, mereka terkejut kalau bulan November 2022 siaran televisi analog akan berhenti dan diganti dengan siaran televisi digital," ungkap Abdul, yang merupakan politikus PKS itu.
Karena itu, ia menyarankan agar Kominfo gencar melakukan sosialisasi terkait program ASO tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menciptakan kegaduhan apalagi menjelang Pemilu 2024.
Anggota Komisi I DPR Junico Bp Siahaan mengkritik izin sewa saluran TV digital, yang dibayar lewat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut TVRI, yang disamaratakan di seluruh daerah. Padahal, kemampuan televisi lokal tak sebanding dengan TV nasional.
"Teman-teman TV lokal, mereka berapa sih iklannya? Sementara biayanya hampir sama, nilai iklan enggak banyak, jumlahnya enggak banyak, harganya enggak sama dengan Jakarta," cetus politikus yang lebih dikenal dengan nama panggung Nico Siahaan itu.
"Sementara, harga yang ditetapkan oleh pusat itu hampir sama sekitar Rp25 jutaan per bulan yang bisa menyerap Rp250 sampai Rp300 juta per tahun TV swasta. TV lokal disuruh bayar segitu. Menurut saya enggak fair lah," jelasnya.
Nico mengakui TVRI harus tetap menghasilkan keuntungan supaya negara tak terlalu defisit dalam pembiayaannya, yakni Rp1 sampai Rp1,5 triliun setahun. Namun, itu mestinya tidak jadi menyulitkan banyak pihak.
"Kalau di TV nasional banyak iklannya enggak masalah, tapi kalau ngambil uang PNBP dari TV lokal, saya enggak setuju nanti akan saya sampaikan dalam rapat-rapat," tegasnya.
Senada, Wakil Ketua Komisi I DPR Bambang Kristiono menyebut televisi lokal bisa mati akibat kebijakan itu.
"Di daerah mereka [stasiun TV lokal] menjerit. Jadi kami harus mencari jalan tengah, artinya supaya PNBP tetap jalan, tetapi di bawahpun tidak merasa kayak terzalimi," ujar Bambang, berdasarkan kunjungan kerjanya ke Maluku Utara, beberapa waktu lalu.
"Kan mereka (stasiun TV lokal) teriak ini mahal, kita bisa mati, yang kita dengar kan begitu. Kita enggak mampu, lama-lama kita akan berhenti akan mati, dan sebagainya," lanjutnya.
Bambang pun menyarankan ada jalan tengah lewat rembukan dengan lembaga terkait. "jalan tengahnya ini adalah yang nantinya akan kita diskusikan dengan instansi-instansi terkait," kata dia.