Andi juga mengungkapkan salah satu kegunaan ilmu astronomi adalah penentuan hari besar Islam di Indonesia. Baginya, pengetahuan ini bisa memfasilitasinya secara saintifik.
Berdasarkan catatan sejarah, lanjut dia, perbedaan itu bermula sejak berakhirnya Orde Baru pada 1998.
"Sejak setelah Orde Baru, masuk reformasi sudah mulai berbeda. Karena sebelumnya menteri agama masih dipegang Muhammadiyyah," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah Orde Baru berakhir, Menteri Agama yang diisi oleh kader Nahdatul Ulama (NU), ormas Islam yang memiliki kriteria penentuan awal bulan hijriyah yang sama dengan pemerintah.
Menurut Andi, Thomas Djamaluddin, yang merupakan mantan Kepala LAPAN, sudah merumuskan kriteria hilal yang mulai disederhanakan dengan menggunakan selisih ketinggian bulan dan matahari 4 derajat, dan elongasi itu minimal 6,4 derajat.
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pun menyepakati ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat sebagai awal bulan komariyah untuk kalender hijriyah.
"Kriteria ini sebenarnya tidak hanya digunakan untuk rukyat atau pengamatan, tapi untuk penyusunan kalender," ujarnya.
Ia menilai penentuan hari besar itu sebaiknya tidak perlu dibuat menjadi polemik karena memang perlahan sejumlah organisasi Islam, pemerintah, dan peneliti menyusun kriteria yang tepat.
Ketika di Indonesia sudah kompak dengan kriteria yang sama, metode ini bisa digunakan untuk lingkup yang lebih besar hingga ke global.
"Memang bumi itu bulat, jadi akan ada keterlambatan secara alamiah. Jika hilal sudah terlihat duluan di Arab Saudi, berarti yang paling lambat merayakan ya wilayah sebelah timur Saudi," ujarnya.
"Jadi sudah sesuai kodrat, kalau bumi berputar dari barat ke timur, jadi semakin ke barat semakin besar hilalnya, semakin jauh dari matahari sehingga kita bisa menentukan hari raya tanpa ada perbedaan baik itu tanggal atau penentuannya," pungkas Andi.
(lth)