Jakarta, CNN Indonesia --
Andi Pangerang Hasanuddin (29) adalah pemuja langit temaram. Saat menatap angkasa bertabur bintang, dia tak pernah merasa sendiri. Kecintaannya berlanjut pada pernyataan konkret; lomba astronomi, komunitas, hingga menjadi peneliti.
Dia merupakan salah satu peneliti pada Pusat Sains Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang dulunya merupakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
"Sebenarnya bermula dari intensi saya akan bintang-bintang akan langit, langit senja, langit fajar, kalau gerhana memantaunya pakai alat (teropong bintang) sejak kecil," ujar dia, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (7/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pelajaran di bangku Sekolah Dasar (SD) membantu imajinasinya dengan benda-benda langit. Andi juga mengaku mendapat asupan dari tontonan televisi.
"Kalau saat kecil ada salah satu acara di TVRI Build Night The Science Guy, saat itu membahas fisika dan astonomi. Ada juga acara Pesona Fisika yang menjelaskan juga soal antariksa," ujarnya.
Tak ketinggalan, inspirasi hadir dari beberapa tokoh besar di dunia sains seperti penemu teori relativitas Albert Einstein, pencetus teori kosmologi Stephen Hawking, hingga pengagas teori dawai Michio Kaku.
Ketertarikan terhadap dunia keantariksaan kian menjurus sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Semarang.
Pada 2008, Andi mengikuti olimpiade sains dan astronomi tingkat SMA se-Jawa Tengah mewakili sekolahnya. Meskipun tak duduk di podium pertama, ia masuk 10 besar pada ajang tersebut.
Andi lantas masuk S1 Teknik Elektro di Universitas Dipenogoro (Undip) pada 2009. Tak berhubungan dekat dengan astronomi memang. Namun, itu tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berdekatan dengan hal berbau angkasa.
Di awal masa kuliah, ia masuk komunitas yang mempelajari ilmu falak serta mempelajari penentuan waktu salat, awal bulan komariah, hingga penghitungan fase gerhana.
"Saat itu juga seperti dibiarkan untuk belajar sendiri oleh guru pembimbingnya. Saya muncul penasaran bagaimana cara menghitung posisi benda langit," ujarnya.
Bermodalkan secercah pengetahuan dari guru pembimbing dan ilmu dari komunitas, pada tahun yang sama ia menciptakan platform perhitungan arah kiblat, waktu salat, gerhana, dan hisab awal bulan hijriyah.
Dari situlah, Andi dikenal oleh sejumlah komunitas astronomi di berbagai daerah, lantaran menciptakan hal baru untuk menunjang penghitungan ilmu falak.
"Saat itu saya mulai dikenal oleh kalangan astronom amatir di Indonesia pada 2014 di Semarang. Dibina langsung oleh Widya Sawitar," ungkap dia.
Sebagai informasi, Widya Sawitar merupakan penceramah senior di Planetarium Jakarta. Ia boleh disebut pentolan astronom di Indonesia, sekaligus sebagai 'bapak' komunitas astronomi amatir.
Lulus dari Undip pada 2015, Andi menempuh jalan memutar sebelum mendapat pekerjaan yang sesuai 'jiwa'-nya. Pria penggemar jogging itu sempat mengajar di beberapa bimbingan belajar (bimbel) di Jakarta.
Namun, ia mengakui 'jalan memutar' itu justru menambah khazanah pengetahuan. Pasalnya, ada kurikulum internasional yang memuat bab mengenai astrofisika. "Dan terpakai ilmu saya di Astro amatir," ucap dia.
Ketekunan Andi di bidang astronmi berbuah manis pada 2018. Ia bisa bergabung dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), yang kini sudah dilebur ke BRIN.
"Saya ingin memberikan ilmu astronomi ini kepada masyarakat agar bisa berfikir lebih ilmiah dan lebih saintifik," ucap dia.
Saat peneliti asyik sendiri di halaman berikutnya...
Sebagai peneliti, Andi mengaku kadang asyik sendiri di laboratorium dalam durasi lama. Menurutnya, hal serupa juga terjadi kepada rekan-rekan peneliti lainnya.
"Memang ketika sudah di ruangan ataupun di Observatorium ya saya jadi asyik dengan kerjaan saya sendiri, ibaratnya sampai lupa daratan lah saking melambung tingginya ke angkasa," ujar warga Pajajaran, Bandung, ini.
Meski demikian, dia yakin para peneliti tak mutlak punya sifat seperti itu. Di momen-momen seperti seminar, lokakarya, maupun diskusi, ia mengaku tak jarang membeberkan informasi komprehensif kepada forum.
"Enggak bisa dipungkiri setiap periset punya karakter masing-masing, enggak semuanya begitu [tertutup]. Introvert jadi semacam stigma atau stereotipe yang sudah lazim kalau peneliti punya ruang yang bebas dari banyak orang," urainya.
Buktinya, selama berkiprah di lembaga ala NASA versi Indonesia itu Andi terbilang rajin berbagi informasi soal fenomena langit mingguan hingga bulanan.
Hal itu, kata peneliti yang juga rutin mengikuti Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) dan aerobik mingguan ini, dilakukan agar sumber daya manusia (SDM) bidang antariksa di RI tak makin tertinggal jauh dari negara lain.
[Gambas:Photo CNN]
"Ini salah satu cara agar bisa berkembang dan bisa bersaing dengan negara lain. Minimal dengan negara tetangga seperti di India, karena perkembangan astronominya sudah sangat pesat bahkan bisa meluncurkan roket sendiri," ujar dia.
Menurutnya, astronomi bukanlah ilmu yang tak menyentuh daratan. Justru, kata Andi, pengetahuan ini amat aplikatif dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya, fenomena Strawberry Moon atau Bulan Stroberi, yang dinamakan sesuai dengan musim panen stroberi di Amerika Serikat.
Indonesia, ujarnya, juga sudah mengenal penamaan rasi bintang jauh sebelum zaman kerajaan karena banyak warga yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Contohnya, Ledes seharusnya Pleiades, Waluku untuk sabuk Orion, dan Wulanjarngirim untuk Alfa-Beta Centauri.
Andi mengatakan rasi bintang itu digunakan untuk menentukan momentum yang tepat untuk menggarap tanah, panen, mengolah lahan, hingga waktu untuk berlayar menangkap ikan.
"Sehingga memang rasi bintang ini tidak bisa lepas dari masyarakat Indonesia. Jadi memang kita tidak bisa lepas dari astronomi ini, seperti rasi bintang saat malam hari," jelasnya.
Unifikasi penentuan hari besar Islam di halaman selanjutnya...
Andi juga mengungkapkan salah satu kegunaan ilmu astronomi adalah penentuan hari besar Islam di Indonesia. Baginya, pengetahuan ini bisa memfasilitasinya secara saintifik.
Berdasarkan catatan sejarah, lanjut dia, perbedaan itu bermula sejak berakhirnya Orde Baru pada 1998.
"Sejak setelah Orde Baru, masuk reformasi sudah mulai berbeda. Karena sebelumnya menteri agama masih dipegang Muhammadiyyah," tuturnya.
Setelah Orde Baru berakhir, Menteri Agama yang diisi oleh kader Nahdatul Ulama (NU), ormas Islam yang memiliki kriteria penentuan awal bulan hijriyah yang sama dengan pemerintah.
Menurut Andi, Thomas Djamaluddin, yang merupakan mantan Kepala LAPAN, sudah merumuskan kriteria hilal yang mulai disederhanakan dengan menggunakan selisih ketinggian bulan dan matahari 4 derajat, dan elongasi itu minimal 6,4 derajat.
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pun menyepakati ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat sebagai awal bulan komariyah untuk kalender hijriyah.
"Kriteria ini sebenarnya tidak hanya digunakan untuk rukyat atau pengamatan, tapi untuk penyusunan kalender," ujarnya.
Ia menilai penentuan hari besar itu sebaiknya tidak perlu dibuat menjadi polemik karena memang perlahan sejumlah organisasi Islam, pemerintah, dan peneliti menyusun kriteria yang tepat.
Ketika di Indonesia sudah kompak dengan kriteria yang sama, metode ini bisa digunakan untuk lingkup yang lebih besar hingga ke global.
"Memang bumi itu bulat, jadi akan ada keterlambatan secara alamiah. Jika hilal sudah terlihat duluan di Arab Saudi, berarti yang paling lambat merayakan ya wilayah sebelah timur Saudi," ujarnya.
"Jadi sudah sesuai kodrat, kalau bumi berputar dari barat ke timur, jadi semakin ke barat semakin besar hilalnya, semakin jauh dari matahari sehingga kita bisa menentukan hari raya tanpa ada perbedaan baik itu tanggal atau penentuannya," pungkas Andi.
[Gambas:Video CNN]