Sejumlah peneliti dalam negeri mengungkapkan indikasi kebijakan anti-sains berupa sensor karya ilmiah untuk tema-tema tertentu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Peneliti biologi konservasi dari University of Oxford Wulan Pusparini mengatakan hal itu baru terjadi di masa Siti Nurbaya Bakar menjabat Menteri LHK.
"Sejauh saya bekerja di bidang konservasi alam tidak pernah terjadi [seperti] sekarang. Memang terasa sekali perubahan beberapa tahun terakhir sejak menteri yang sekarang," kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Senin (26/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dimulainya dari rezim sekarang," imbuhnya.
Bagaimana bentuk saringan dari Kementerian?
Pertama, katanya, penyetoran manuskrip atau naskah sebelum terbit ke Kementerian. "Harus dikasih dulu manuskripnya, mereka harus baca," ungkap Wulan.
Kedua, penyaringan beberapa istilah yang dianggap sensitif. Wulan mencontohkannya dengan istilah 'perambahan' dan 'deforestasi'.
"Jadi ada kata-kata yang kita tahu kalau ada di dalam satu tulisan itu bikin susah naiknya, bikin susah segala macam implikasinya," ungkap dia.
"Misalnya, ada beberapa kata yang harus diubah atau beberapa hasil yang mungkin tidak sesuai itu tak pernah terjadi sebelumnya, harus izin dulu untuk suatu karya ilmiah dan harus sesuai dengan kaidah sebetulnya di luar saintifik itu sendiri," tutur Wulan.
Ketiga, pembatasan penelitian bagi ilmuwan yang karyanya dianggap mendiskreditkan pemerintah.
"Yang sulit itu jadi kawan-kawan saya [anggap] neliti di Indonesia itu sulit. Apa yang dianggap mendiskreditkan apa yang tidak itu [bikin penelitian] menjadi sulit. Padahal kami kan hanya menyajikan fakta," ucap Presiden Society of Conservation Biology chapter Indonesia itu.
Dengan deret indikasi sensor itu, Wulan mengatakan sejumlah peneliti merasa tidak bebas dan bahkan takut untuk membuat karya ilmiah. Pada akhirnya, banyak peneliti yang terpaksa melakukan penyaringan mandiri (self censorship).
Padahal, menurutnya, penyaringan karya ilmiah mestinya dilakukan secara ilmiah pula. Bentuknya, pembacaan ulang karya sebelum publikasi hingga tinjauan kolega (peer review).
"Kami kan publikasi sesuai kaidah saintifik kan ada peer review, data, metodologi. Jadi kalau ada yang tidak disetujui dari publikasi kan ada caranya juga," ujarnya.
"Bisa dikritisi metodenya, dilihat lagi datanya, tapi bukan ada self censorship atau ada imbauan tidak boleh mempublikasi penelitian tertentu. Seharusnya tidak ada seperti itu kan?" cetus Wulan.
Belum lama ini, KLHK melarang peneliti asing Erik Meijaard dkk masuk ke taman nasional di RI karena publikasinya soal orang utan yang dianggap mendiskreditkan pemerintah.
Terbaru, fotografer profesional satwa liar Alain Compost mengaku dipersulit mendokumentasikan badak di Indonesia. Bahkan, ia sudah menulis surat resmi kepada KLHK untuk meminta penjelasan namun tak kunjung mendapat jawaban.
Efek parah bagi lingkungan di halaman berikutnya...