Kenapa Warga +62 Gampang Kena Tipu dan Hoaks?

CNN Indonesia
Sabtu, 08 Okt 2022 08:13 WIB
Warga RI cenderung mudah kena tipu dan hoaks di dunia online. Ada apa?
Ilustrasi. Warga RI, terutama kalangan orang tua, dinilai mudah kena hoaks. (Foto: iStockphoto/awicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Warga Indonesia dinilai mudah terpapar hoaks dan rentan menjadi target penipuan di jagat maya. Apa sebabnya?

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza mengungkapkan hal itu terkait tingginya pengguna internet di Indonesia yang tidak diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang mumpuni.

"Faktanya, masyarakat Indonesia cukup rawan terpapar hoaks dan misinformasi, terlibat dalam perundungan siber, serta menjadi target penipuan di dunia maya," ujar dia, lewat keterangan tertulis, Selasa (4/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam konteks pandemi Covid-19 misalnya, marak misinformasi atau hoaks menunjukkan rendahnya literasi digital dapat mempengaruhi usaha pemerintah dan masyarakat untuk menangani pandemi.

Ia menjelaskan kemampuan literasi digital sangat dipengaruhi dengan kemampuan literasi yakni kemampuan membaca, menulis, mencari, menganalisis, mengolah dan membagikan teks tertulis.

"Sayangnya, performa Indonesia di bidang literasi baca tulis termasuk rendah," ujar dia.

Hal itu tercermin dari survei tiga tahunan dari Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018. Survei ini dilakukan terhadap siswa berusia 15 tahun yang menilai sejauh mana pengetahuan dan keterampilan kunci yang penting untuk partisipasi penuh dalam masyarakat.

Penilaiannya berfokus pada kemahiran dalam membaca, matematika, sains, dan domain inovatif (untuk 2018, domain inovatif adalah kompetensi global), dan kesejahteraan siswa.

Hasilnya, Indonesia berada di peringkat 71 dari 79 negara.

Nadia menilai salah satu faktor penyebab fenomena itu adalah karena kurangnya keterampilan berpikir kritis sejak dini.

"Salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini. Padahal, literasi digital perlu diasah sejak dari pendidikan dasar," kata dia.

Selain itu tantangan struktural, yaitu ketimpangan akses internet antar daerah juga mempersulit adopsi literasi digital.

"Materi literasi digital juga harus disertakan dalam pelatihan guru. Tanpa meningkatkan kompetensi TIK (teknologi informasi dan komunikasi) yang rendah dan pedagogi berpikir kritis di antara para guru, mereka tidak akan dapat berperan dalam meningkatkan literasi digital siswa," ujar Nadia.

Golongan usia mana yang paling terdampak?

Dikutip dari The Verge, survei Universitas New York dan Princeton mengungkap golongan tua lebih mungkin untuk berbagi berita palsu di jagat maya terutama di Facebook.

Pengguna yang lebih tua membagikan lebih banyak berita palsu daripada yang lebih muda tanpa memandang pendidikan, jenis kelamin, ras, pendapatan, atau berapa banyak tautan yang mereka bagikan.

Temuan bahwa orang yang lebih tua lebih cenderung membagikan berita palsu dapat membantu pengguna dan platform media sosial merancang intervensi yang lebih efektif untuk menghentikan mereka agar tidak disesatkan.

Peran berita palsu dalam mempengaruhi perilaku pemilih telah diperdebatkan terus menerus sejak kemenangan mengejutkan Donald Trump atas Hillary Clinton pada tahun 2016.

Studi itu juga telah menemukan berita palsu pro-Trump memungkinkan membujuk beberapa orang untuk memilih Trump atas Clinton.

(can/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER