Misi Artemis 1 sudah selesai dan sukses mendarat kembali ke Bumi. Apa misi ini akan membuat Amerika Serikat (AS) menjadi pemilik Bulan?
Pesawat ruang angkasa Orion sukses melakukan pendaratan pada Minggu (11/12) pukul 12:40. EST (Senin (12/12) 00.40 WIB) di Samudra Pasifik, mengakhiri misi Artemis 1 selama 25,5 hari yang diluncurkan pada 16 November.
Dilansir Space, kapsul tersebut menyelesaikan perjalanannya di hadapan USS Portland, sebuah kapal Angkatan Laut yang bertugas di Samudra Pasifik untuk operasi pemulihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misi Artemis 1 merupakan bagian pertama dari rangkaian misi Artemis yang diproyeksikan untuk membawa manusia kembali ke Bulan. Misi ini dilakukan untuk menguji kesiapan pesawat antariksa beserta sejumlah variabel lain untuk misi Artemis berikutnya.
Manusia terakhir kali menginjakkan kaki di Bulan pada 1972 lewat misi Apollo 17. Selama 50 tahun berselang, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) ingin membawa kembali manusia ke satelit Bumi tersebut.
AS menjadi salah satu negara yang cukup aktif mengeksplorasi Bulan, bahkan bendera negara ini tertancap di sana.
Meski demikian, ada negara lain yang juga menancapkan benderanya di sana, yakni China.
Kedua bendera tersebut bukan tanda kepemilikan seperti yang biasa dilakukan di Bumi. Bendera tersebut lebih seperti grafiti di luar angkasa, sekadar penanda kedua negara pernah menjelajah ruang tersebut.
Ketika Sputnik 1 Uni Soviet, satelit buatan pertama di dunia, melesat melintasi langit pada Oktober 1957, hal itu membuka sebuah kesempatan baru. Beberapa dari kesempatan itu bersifat ilmiah, tetapi yang lain bersifat legal atau hukum.
Dekade berikutnya, komunitas internasional menyusun Perjanjian Luar Angkasa tahun 1967 (OST), dokumen hukum pertama di dunia yang secara eksplisit berkaitan dengan eksplorasi ruang angkasa.
Perjanjian ini menjadi hukum antariksa yang paling berpengaruh, meskipun faktanya sangat sulit untuk ditegakkan.
"Ini bukan kode etik," kata Michelle Hanlon, pakar hukum luar angkasa di University of Mississippi School of Law, seperti dikutip dari Space.
"Itu hanya pedoman dan prinsip," tambahnya.
Meskipun kurangnya penegakan, OST jelas tentang negara-negara yang melakukan akuisisi tanah di luar angkasa. Pasal 2 perjanjian tersebut secara eksplisit mengesampingkan kemungkinan suatu negara mengklaim kepemilikan bagian ruang angkasa atau benda langit apa pun.
"Suatu negara tidak dapat mengklaim kedaulatan di Bulan, titik," kata Hanlon.
Namun menurut Hanlon, ketika berkaitan dengan pembangunan struktur seperti pangkalan dan habitat di tanah Bulan segalanya menjadi lebih abu-abu.
"Mereka semacam [akuisisi] wilayah dengan cara lain, kan?" katanya.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berlaku di ruang angkasa berdasarkan Pasal 3 OST menyatakan bahwa individu memiliki hak mendasar untuk memiliki properti. Artinya, secara hipotetis, siapa pun dapat membangun rumah di bulan dan mengklaimnya sebagai hak milik.
Namun, Pasal 12 OST memasukkan ketentuan yang dapat menggagalkan upaya tersebut. Menurut pasal tersebut, setiap instalasi pada objek langit lain harus dapat digunakan oleh semua pihak. Dengan kata lain, kata Hanlon, Bulan harus berfungsi sebagai ruang publik.
Saat misi seperti program Artemis NASA dan proyek pangkalan bulan China dan Rusia dimulai, pengacara ruang angkasa seperti Hanlon harus melakukan kerja keras untuk merekonsiliasi Pasal 2 dengan Pasal 12 di OST.
Baru baru ini, NASA berusaha mengisi beberapa celah hukum antariksa dengan Artemis Accords, perjanjian internasional yang dirancang untuk memuluskan eksplorasi di masa depan.
Dibangun di atas Perjanjian Luar Angkasa (OST), perjanjian tersebut menjabarkan serangkaian prinsip tidak mengikat yang mengatur aktivitas di beberapa benda langit, termasuk Bulan.
Di antara ketentuannya adalah pengakuan atas wilayah Bulan tertentu, seperti situs pendaratan satelit Luna Rusia dan jejak kaki Neil Armstrong, sebagai warisan luar angkasa yang dilindungi.
Secara khusus, perjanjian tersebut juga memungkinkan sebuah entitas untuk mengekstraksi dan menggunakan sumber daya luar angkasa, yang tidak semua negara setuju. Sejauh ini, dua puluh satu negara telah menandatangani perjanjian.
Meski demikian, beberapa pemain utama, termasuk Rusia, telah menolak berdasarkan klausul tersebut, yang mereka lihat memberikan keuntungan yang tidak adil bagi kepentingan bisnis Amerika.
(arh/lom/arh)