Erma menjelaskan badai dahsyat itu berasal dari laut dan dipindahkan ke darat melalui dua jalur. Yakni, dari barat melalui angin baratan yang membawa hujan badai dari laut (westerly burst), dan dari utara melalui angin permukaan yang kuat (northerly, CENS).
Pusat serangan badai itu ada di Banten, Jakarta dan Bekasi.
Erma mengungkap konvergensi (area berkumpulnya massa udara yang memicu kenaikan suhu dan membentuk awan hujan) di darat juga akan terjadi secara masif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, ada dua badai yang mesti diwaspadai, yakni siklon tropis Ellie di Australia dan bibit siklon mirip Seroja (Seroja-like).
"Yang perlu diwaspadai selanjutnya bukan siklon Ellie tapi badai vorteks baru yang tumbuh di selatan NTB yang berpotensi terus menguat dan membesar menjadi bibit siklon mirip Seroja (Seroja-like), karena inti pusaran badainya akan berada di atas daratan," tuturnya, lewat pesan singkat.
Hal itulah yang menjadi dasar Erma menyebut adanya hujan persisten di Bali-Lombok-Nusa Tenggara hingga beberapa hari mendatang sejak Jumat (24/12).
Selama proses pertumbuhan Seroja-like, katanya, "terjadi eksitasi energi yang sangat besar sehingga memicu pembentukan badai-badai konvektif skala meso (meluas) lainnya di beberapa lokasi di Indonesia seperti di Laut Jawa yang terkoneksi dengan Lampung dan Laut Flores."
Kondisi ini, kata dia, dapat mengakibatkan hujan ekstrem dan persisten terbentuk di Lampung, Jawa, Bali, Lombok, NTB, NTT dan sekitarnya
Di pihak lain, Dwikorita punya mekanisme prediksi yang berbeda. Ia menjelaskan hujan ekstrem dipengaruhi proses terbentuknya siklon tropis, yang sudah terjadi sejak 21 Desember lalu dan kemungkinan akan bergeser ke bagian selatan barat Indonesia dan semakin jauh dari Jabodetabek.
"Itu yang dimaksud dengan badai sesungguhnya," ucap Dwikorita.
Meskipun sama-sama lembaga pemerintah, BMKG dan BRIN dalam urusan analisis dinamika atmosfer punya rujukan yang berbeda.
Erma, yang merupakan peneliti BRIN yang merupakan lembaga gabungan dari LAPAN, BATAN, LIPI dan BPPT, memanfaatkan Sadewa alias Satellite Early Warning System untuk mengukur dinamika di atmosfer.
Sadewa merupakan sebuah sistem informasi peringatan dini bencana yang dikembangkan berbasis teknologi satelit dan juga dilengkapi sensor-sensor terestrial.
Sistem ini berfungsi untuk memberikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penanganan kejadian bencana baik pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah dalam rangka pengelolaan risiko bencana.
Sementara itu, BMKG memanfaatkan satelit Himawari yang dioperasikan oleh Badan Meteorologi Jepang. Satelit itu diluncurkan pada tanggal 14 Juli 1977 dari Cape Canaveral. Satelit kelima dan terakhir diluncurkan 18 Maret 1995 dari Tanegashima.
Himawari dibuat memang untuk sistem pengamatan cuaca dan iklim. Satelit itu diharapkan dapat berkontribusi pengurangan risiko bencana di Asia dan Pasifik Barat sampai tahun 2029.
Satelit meteorologi itu punya kemampuan memantau fenomena atmosfer secara global dan seragam di berbagai daerah seperti laut, gurun dan pegunungan di mana pengamatan berbasis permukaan sulit dilakukan.
(can/arh)