2 Mutasi Omicron Bisa Sebabkan Gelombang Baru Covid-19 di China

CNN Indonesia
Senin, 02 Jan 2023 10:35 WIB
China diprediksi mengalami gelombang baru Covid-19 karena 2 varian Omicron yang bermutasi. (Reuters/Tingshu Wang)
Jakarta, CNN Indonesia --

China diprediksi bakal mengalami kembali gelombang baru Covid-19 usai varian Omicron bermutasi menjadi subvarian XBB 1.5 dan BQ 1.1. Mutasi itu menyebabkan varian tersebut lebih cepat menyebar dan tahan terhadap vaksin.

"China kemungkinan besar akan mengikuti tren dan mengulangi gelombang re-infeksi seperti yang sudah terjadi di belahan dunia lain," kata Ahli Virus, Shan-Lu Liu dari Ohio State University seperti dikutip South China Morning Post.

Di hampir banyak bagian di dunia, re-infeksi telah menjadi hal yang lumrah dengan adanya tiga dari empat puncak infeksi pada 2022. Sejauh ini, para pakar masih belum memahami re-infeksi terjadi kepada orang yang telah sembuh dari Covid-19.

Dalam studi yang dibuat Peking University, para pakar memeriksa 6,6 juta kasus dari seluruh dunia. Mereka menemukan rata-rata tingkat re-infeksi covid-19 pra-Omicron sekitar 2 persen.

Namun Omicron merupakan varian yang lebih mudah menular. Alhasil, para pakar memprediksi, tingkat re-infeksi jauh lebih tinggi daripada sebelumnya.

Sejauh ini, subvarian Omicon yang paling dominan adalah BA.5.2 dan BF.7. Akan tetapi, dua subvarian lain yakni BQ.1.1 dan XBB 1.5 telah beredar di Amerika Serikat dan Eropa dalam dua bulan terakhir.

Bahkan, subvarian baru yang disebut XBB.1.5 sudah menyebar dengan cepat di beberapa negara bagian Amerika Serikat semisal New York. Di sana, subvarian tersebut menyebabkan 40 persen dari total kasus Covid-19 yang ada berdasarkan US Centres for Disease Control and Prevention.

"XBB.1.5 adalah salah satu yang paling menular dan invasif terhadap imun yang kami ketahui sejauh ini," kata ahli biokimia Peking University, Cao Yunlong.

"Bisa diprediksi setelah puncak gelombang di China, XBB bisa masuk ke sana untuk memicu gelombang baru berskala besar," katanya menambahkan.

"Dalam dua pekan, subvarian ini mengalahkan BQ.1.1 untuk menjadi subvarian yang dominan di New York. Karena XBB.1.5 boleh jadi menjadi yang paling dominan di level global, kita harus benar-benar memperhatikannya," ujar Cao lagi.

Cao mengatakan, China sulit menghindari banyaknya kasus re-infeksi sejak melonggarkan kebijakan zero-Covid mereka pada Desember lalu. Menurut data Chinese Center for Disease Control and Prevention (China CDC), ada 14 kematian karena covid-19 dari 1 hingga 29 Desember.

Jumlah itu membuat total kematian karena Covid-19 secara nasional di China mencapai 5.247 sejak pandemi dimulai. "Di titik ini, sepertinya sulit mencegah situasi demikian (re-infeksi) untuk tidak terjadi di China," kata Cao.

Di sisi lain, mengutip New York Times, para pakar kesulitan mengakses informasi detail soal perkembangan kasus Covid-19 di China. Pasalnya, Pemerintah China tidak transparan mengenai data soal pandemi.

Di Hong Kong, satu tim ahli terpaksa mengakses data penumpang dari lima kereta jalur kereta bawah tanah di Beijing untuk menentukan potensi penyebaran.

Di Seattle, AS, sekelompok pemodal mencoba melakukan rekayasa terbalik (reverse-engineer) sebuah informasi yang bocor dari pemerintah namun belum terverifikasi. Di Inggris, para ilmuwan mencoba memperkirakan sendiri tingkat kemanjuran dari vaksin China.

(lth)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK