Kualitas Lingkungan Naik 5 Tahun Terakhir Kata KLHK, Fakta Mendukung?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim kualitas lingkungan hidup Indonesia meningkat dalam lima tahun terakhir. Benarkah demikian?
Klaim tersebut berdasarkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang naik 0,97 poin dibanding tahun sebelumnya.
Perhitungan itu diperoleh dari 7.331 lokasi pemantauan air 3.076 lokasi pemantauan kualitas udara, dan 970 lokasi pemantauan kualitas air laut di seluruh Indonesia.
Sementara itu, 514 data pemantauan kualitas tutupan lahan diperoleh dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
"Jika dilihat per media lingkungan, kenaikan nilai IKLH Indonesia pada tahun ini disebabkan kenaikan nilai Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara, dan Indeks Kualitas Air Laut," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Sigit Reliantoro seperti dikutip dari situs resmi KLHK.
"Meskipun Indeks Kualitas Lahan sama dengan tahun lalu, tidak terlalu berpengaruh terhadap agregat nilai IKLH," tambahnya.
KLHK juga mengklaim nilai IKLH Indonesia sejak 2018 hingga 2022, alias lima tahun terakhir, meningkat. Berturut-turut nilainya 65,14; 66,55; 70,27; 71,45; dan tahun ini 72,42 poin.
Sigit menambahkan KLHK sudah mengembangkan Indeks Respon Kinerja Daerah sejak 2021 yang memotret kapasitas daerah dalam menyusun kebijakan, dan peraturan, struktur dan pengembangan kompetensi sumber daya manusia, alokasi anggaran, implementasi "kolaborasi dengan pemangku kepentingan, penyebaran informasi serta pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan".
Lebih lanjut, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota akan memperoleh rapor dari KLHK tentang angka indeks, posisi daerah tersebut, indeks respons dan rekomendasi untuk perbaikan masing-masing indeks.
Informasi serupa juga akan diberikan kepada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan sebagai salah satu faktor perhitungan dana bagi hasil daerah, dan Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, untuk evaluasi kinerja lingkungan Pemerintah Daerah.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Koordinasi Bidang Maritim dan Investasi, IKLH adalah komposit (gabungan) dari Indeks Kualitas Air, Udara, Lahan, dan Air Laut. Masing-masing area pun memiliki tolok ukur berbeda.
Untuk air, ada 11 tolok ukur: derajat keasaman (pH), kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), padatan tersuspensi total (TSS), oksigen terlarut (DO), nitrat (NO3-N), total fosfat (T-Phosphat), total nitrogen, total coliform, klorofil-a; dan/atau transparansi.
Sementara untuk udara ambien ada dua yakni sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida (NO2). Untuk air laut, ada lima tolok ukur: padatan tersuspensi total (TSS), minyak dan lemak, amonia total (NH3-N), ortofosfat (PO4-P), dan oksigen terlarut (DO).
Lebih lanjut untuk tutupan lahan ada dua: luasan tutupan hutan, dan luasan tutupan vegetasi non hutan. Sedangkan untuk ekosistem gambut: area terdampak kanal, area bekas kebakaran, tutupan lahan, tinggi muka air tanah; dan/atau areal yang terekspos sedimen berpirit dan/atau kuarsa di bawah lapisan gambut.
Hasil perhitungan akhir IKLH kemudian akan dibagi menjadi tiga: IKLH nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Bicara fakta
Merespons hal tersebut, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menilai fakta yang ada di lapangan tidak mencerminkan klaim itu. Menurutnya, data-data pemerintah harus dilihat "secara kritis."
"Jadi kita lihat faktualnya aja, masih terlalu banyak persoalan lingkungan yang belum teratasi dengan cukup baik," kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Leonard mengakui tingkat deforestasi atau penebangan hutan memang menurun. Namun, hal itu masih tetap terjadi dalam skala yang "masih mengkhawatirkan."
Selain itu, masih banyak hal faktual lain yang bisa menjadi indikator kualitas lingkungan hidup Indonesia masih bermasalah.
"Masih ada kerusakan di mangrove. (Untuk) sampah, sampah plastik, terakhir terungkap lagi oleh Ecoton bahwa lima sungai di lima pulau utama Indonesia itu tercemar mikroplastik dalam jumlah yang mengkhawatirkan," ungkapnya.
"Terus persentase DAS (Daerah Aliran Sungai) yang sudah rusak juga tinggi sekali karena perambahan hutan di hulu sungai," lanjut dia.
Tak ketinggalan, Leonard menyoroti masalah pencemaran udara, terutama di kota-kota besar, yang tetap buruk.
Hal itu dibuktikan dengan pengukuran harian di situs IQAir. Jakarta beberapa kali meraih jawara Indeks kualitas udara (Air Quality Index/ AQI) terburuk dunia, terutama di saat jam sibuk.
"Belum lagi ngomongin kualitas udara, pencemaran udara kita juara terus lho... bahkan kalau kita cek (dengan) instrumen kualitas udara KLHK secara cukup konsisten memberi tahu kita kualitas udara Indonesia, Jabodetabek dan kota besar lain masih buruk," tandas Leonard.
(lth/arh)