NASA dan China Saling Tuding soal Penguasaan Bulan dan Angkasa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa (NASA) kembali memperingatkan upaya Beijing untuk mengklaim wilayah di Bulan. Sementara, China menuding AS sedang dalam misi menguasai sumber daya angkasa strategis.
Kedua negara diketahui memiliki ambisi besar di Bulan. NASA mengirim program Artemis untuk kembali mendaratkan manusia di Bulan. Sementara China bermaksud mengirim krunya ke Bulan sebelum akhir dekade ini dan membangun pangkalan di sana pada 2030-an.
AS dan China juga sama-sama mempertimbangkan untuk mendarat di beberapa area yang sama di dekat kutub selatan Bulan.
Lihat Juga :101 SCIENCE Siapa yang Punya Bulan? |
"Itu adalah fakta: kita berada dalam perlombaan luar angkasa," kata Direktur NASA Bill Nelson dalam wawancara dengan Politico awal tahun ini.
"Dan memang benar sebaiknya kita berhati-hati agar mereka (China) tidak sampai ke suatu tempat di Bulan dengan kedok penelitian ilmiah. Dan bukan di luar kemungkinan mereka berkata, 'Jangan keluar, kami di sini, ini wilayah kami.'"
administrator NASA kepada Politico (buka di tab baru) dalam sebuah wawancara yang diterbitkan 1 Januari. ke suatu tempat di bulan dengan kedok penelitian ilmiah. Dan tidak di luar kemungkinan bahwa mereka berkata, 'Jangan masuk, kami sudah di sini, ini wilayah kami'," lanjutnya.
Pada Juli tahun lalu, Nelson juga sempat mengungkap kekhawatirannya soal kemungkinan klaim China saat bicara soal rencana pendirian pangkalan bersama China dan Rusia di Bulan pada 2035. Jika itu berhasil, taikonaut, sebutan bagi astronaut dari China, dapat melakukan eksperimen di bulan mulai 2036.
"Kita mestinya sangat khawatir China mendarat di bulan dan berkata: 'ini milik kami sekarang dan Anda tak boleh masuk'," cetus Nelson, saat itu.
Hubungan antara AS dan China diketahui dalam kondisi rumit dan menjadi semakin tegang dalam beberapa tahun terakhir. Ketidakpercayaan antara kedua kekuatan juga terlihat dalam urusan yang berkaitan dengan luar angkasa.
Meski ada deret tudingan dari Nelson, sejauh ini tidak ada dasar hukum untuk mengklaim wilayah di luar angkasa.
China, seperti AS dan 132 negara lainnya, sudah menandatangani Traktat Luar Angkasa 1967 yang menyatakan bahwa "Luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, tidak tunduk pada 'apropriasi nasional' melalui klaim kedaulatan, melalui penggunaan atau pekerjaan, atau dengan cara lain."
Nelson, bagaimanapun, menunjuk pada perilaku China dan klaim teritorial di Laut China Selatan sebagai indikator kemungkinan klaim masa depan di Bulan.
Tokoh-tokoh industri luar angkasa China telah bergerak untuk membantah klaim terbaru Nelson.
"Kami melakukan penerbangan luar angkasa untuk mengembangkan teknologi tinggi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan standar hidup masyarakat," kata Yang Yuguang, pengamat industri luar angkasa senior di Beijing, dikutip dari media pemerintah China Daily.
"Kami tidak ambil bagian dalam perlombaan antariksa dengan negara lain karena persaingan dalam hal ini tidak ada artinya," tambah dia, yang juga merupakan Wakil Ketua Komite Transportasi Luar Angkasa Federasi Astronautika Internasional itu.
Dikutip dari Space, Nelson menyarankan kerja sama dengan China dapat dilakukan selama Kongres Astronautika Internasional di Paris pada September. Meskipun, ada hambatan bagi NASA untuk terlibat dengan entitas China.
Namun, mantan senator dan astronaut dari Florida itu menyatakan bahwa China perlu lebih terbuka dan transparan mengenai rencananya untuk ruang angkasa.
Wu Yansheng, Ketua kontraktor luar angkasa utama China, China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC), yang membuat roket Long March, modul stasiun luar angkasa, dan pesawat luar angkasa milik Negara Tirai Bambu lainnya, baru-baru ini menyindir kerisauan AS.
Ia menyatakan CASC menghadapi tantangan terhadap rencananya karena kondisi yang diciptakan oleh AS seperti "memulai kembali persaingan kekuatan besar".
Bentuknya, dijauhkan dari program Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan dimasukkannya perusahaan kedirgantaraan China seperti CASC ke daftar hitam ekspor AS.
Dikutip dari Spacenews, Wu juga mengklaim AS sedang berusaha merebut sumber daya ruang strategis termasuk orbit tertentu, lokasi, dan frekuensi radio. China juga sebelumnya sempat merisaukan mega-konstelasi satelit komunikasi SpaceX Starlink.
(tim/arh)