Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio buka-bukaan ihwal polemik alat riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan harga selangit hingga status Lab Genomik sebagai pewaris kerja lembaganya.
LBM Eijkman merupakan salah satu lembaga riset yang didirikan oleh BJ Habibie, yang saat itu masih Menteri Riset dan Teknologi era Orde Baru, usai melihat kemajuan ilmu genomik (tentang rangkaian gen) global.
Dipimpin ilmuwan Sangkot Marzuki di periode awal, Eijkman berkembang menjadi lab yang fokus pada penelitian gen kelas dunia. Salah satu buahnya adalah deteksi pelaku bom bunuh diri Bali 2004. Di luar itu, ada penelitian vaksin-vaksin, termasuk untuk Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, studi itu keburu diinterupsi oleh ingar-bingar peleburan lembaga-lembaga riset ke BRIN lewat Perpres 33 dan 78 Tahun 2021 tentang BRIN. Puluhan lembaga riset dilebur ke sana, termasuk Eijkman.
Kini, Eijkman diklaim kembali menjelma dalam Pusat Riset Biologi Molekular (PRBM) Eijkman dengan markasnya di Lab Genomik Cibinong, Kabupaten Bogor.
Amin Soebandrio pun bercerita kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/7), soal pandangannya terkait lembaga bentukan baru itu dan kerja-kerjanya.
Status pewaris
Amin enggan secara eksplisit mengakui PRBM mewarisi kerja-kerja LBM Eijkman. "Menurut klaim mereka meneruskan apa yang sudah dikerjakan di Eijkman," respons dia.
Pasalnya, ia tidak memiliki pembaruan informasi soal lanjutan riset Eijkman di BRIN lantaran minimnya publikasi riset di sana.
"Kalau kegiatannya saya sendiri belum punya update-nya karena belum ada publikasinya, apa yang sedang dilakukan," ucap Amin.
"Saya tidak punya informasi apakah mereka melanjutkan penelitian yang selama ini dikerjakan di Eijkman ya," sambungnya.
Ia menduga penelitian Eijkman yang dilanjutkan BRIN secara prinsip memang tak berbeda dengan penelitian Eijkman.
"Mungkin yang dikerjakan [BRIN] mirip-mirip [dengan LBM Eijkman], bisa saja. Artinya yang mereka sampaikan meneruskan kegiatan itu bekerja dengan penyakit infeksi, bekerja dengan genom manusia," tutur dia.
"Tapi apakah persis melanjutkan penelitian yang sudah dikerjakan, mungkin ada modifikasi dan ada perubahannya karena kita tidak punya akses untuk melihat apa yang dikerjakan," kata Amin.
Selain itu, Amin menyebut tidak semua mantan peneliti LBM Ejikman bekerja di bawah naungan BRIN. Menurutnya, kebanyakan staf di sana merupakan eks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Ya mencar-mencar, ya pindah ke lab swasta ada yang ke lab industri ada yang buka lab sendiri," ungkap dia.
Sebelumnya, Kepala PRBM Eijkman BRIN Elisabeth Farah Novita mengaku sebagian besar penelitian pihaknya melanjutkan apa yang sudah diteliti Eijkman.
"Penelitian kami sebagian besar melanjutkan beberapa penelitian yang sudah di Eijkman antara lain bakteri molekuler, patogen, hepatitis, malaria, vektor resisten penyakit yang ditularkan oleh vektor, psikogenetika atau penyakit keturunan, yang menggunakan struktur dan perubahan menggunakan molekuler," kata dia, di Cibinong, Selasa (27/6).
Elisabeth membenarkan lab genomik, di Kawasan Teknologi (KST) Soekarno, Cibinong, ini merupakan kelanjutan dari Eijkman.
"Risetnya ada yang di gedung ini, juga ada yang berkegiatan di Gedung lainnya seperti BSL-3, dan juga fasilitas lainnya yang dibutuhkan periset yang bersangkutan," ucapnya.
Seperti Eijkman, katanya, pusat riset ini juga mengurutkan genom yang berpotensi menjadi penyakit pandemi selanjutnya.
Lab mahal yang telantar di halaman berikutnya...
Amin juga menyoroti fasilitas mahal milik Eijkman yang telantar. Yakni, sarana riset infectious biosafety level-3 (BSL-3) yang pernah dimiliki dan dioperasikan Eijkman selama 10 tahun.
"Sarana itu atau fasilitas itu sebetulnya sudah ada di Eijkman," kata dia, "Sekarang masih ada, tapi sudah enggak terpakai," sambungnya.
Kenapa tak bisa dioperasikan lagi lab BSL-3 Eijkman? "Ya otomatis tidak bisa dioperasikan karena BSL-3 setiap tahun harus disertivikasi," jawabnya.
"Kemudian kalau BSL-3 tidak dipakai, maka untuk dioperasikan lagi tidak begitu saja seperti kita menyalakan mesin fotokopi. Kalau di BSL-3, kalau sudah dimatikan maka untuk dipakai lagi harus diperiksa kembali. Bahkan, X-ray-nya harus disertifikasi dan proses sertifikasinya sangat mahal," urai Amin.
Sertifikasi rutin itulah, katanya, jadi salah satu alasan yang membuat fasilitas riset genomik memiliki nilai investasi yang mahal.
"Investasinya mahal sekali, BSL-3 dan [alat riset] genomic mahal sekali ya," ucapnya, "Artinya fasilitas yang mahal itu penelitinya juga butuh dana yang tidak sedikit juga."
Hal ini dikatakannya terkait pengakuan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko soal salah satu fasilitas riset yang diperlukan pihaknya yang berharga mahal, yakni Cryo-Electron Microscopy (Cryo-EM) dan fasilitas animal BSL-3.
Masalah harga selangit ini sempat menuai komentar Wakil Ketua Dewan Pengarah BRIN sekaligus Menkeu Sri Mulyani. Ia menilai yang terpenting adalah fasilitas riset yang dibutuhkan peneliti.
Amin juga menyebut lab BSL-3 mestinya tak bisa diperlakukan sebagai fasilitas riset umum di BRIN yang bisa dipakai semua pihak. Sebab, lab semacam ini mesti cuma bisa diakses oleh pakar yang bersertifikasi.
"Lab itu kan oleh BRIN disebut co-working space ya, artinya terbuka untuk semua," ujarnya, yang kini berdinas di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
"Nah, untuk fasilitas dengan tingkat keamanan tinggi enggak bisa sembarangan, enggak bisa semua orang pakai. Harus betul-betul orangnya sudah terlatih dan sudah punya sertifikat orangnya berkeja di bsl3. Jadi enggak sembarangan orang," kata Amin.
[Gambas:Infografis CNN]
Sebelumnya, Handoko pernah menyampaikan bahwa laboratorium dan peralatan riset di BRIN kini tidak didedikasikan kepada satu individu atau sekelompok peneliti saja, melainkan siapapun boleh menggunakan alat riset dengan istilah co-working space.
Meski begitu, Amin tak menampik peralatan riset BSL-3 memang dibutuhkan di Indonesia demi memberikan pengetahuan penyakit dan infeksi.
Ia menjelaskan kebutuhan lab infectious tidak hanya cuman satu saja dibangun. Kawasan seperti DKI Jakarta, kata Amin, dibutuhkan dua atau tiga lab.
"Tapi ya investasinya mahal dan operasionalnya juga mahal," aku Amin.
Dalam siaran persnya, Handoko sempat menyebut "BRIN memastikan tata kelola aset barang milik negara (BMN) khususnya yang berasal dari eks. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBM Eijkman) telah dilakukan dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku."
Setelah pengambilalihan aset itu, BRIN melakukan perbaikan tata kelola secara menyeluruh, sekaligus penataan ulang terhadap aset dan memastikan seluruhnya telah memenuhi kaidah tata kelola aset negara yang berlaku.
BRIN pun mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada audit periode Januari - Mei 2023.
"Saat ini sebagian besar aset eks LBM Eijkman telah dioperasikan di Gd. Genomik Cibinong, bersama beragam alat canggih lainnya termasuk Cryo-EM terbaru untuk melihat struktur protein serta Lab Pusat Sekuensing," kata Handoko.
Fasilitas-fasilitas riset mahal itu kini berada di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Soekarno, yang berlokasi di Cibinong, Jawa Barat.
"Termasuk ada uji animal Biosafety Level-3 (BSL-3) untuk mencit, serta animal BSL-3 untuk macaca. Dan itu sama sekali tidak murah. Itu kami kerjasamakan dengan industri farmasi kita," tutur Handoko, secara terpisah.