Sedari kecil, Basril, yang lahir 13 Agustus 1960 di Pariaman, Sumatera Barat, punya cita-cita menjadi dokter karena ingin memajukan dunia kesehatan di daerahnya.
Ketika masuk jenjang sekolah menengah, ia memilih sekolah kejuruan bidang analis kimia di Padang. Jarak sekolah dan rumah mencapai 55 kilometer. Itu membuatnya harus merantau sendirian di ibu kota Sumbar tersebut.
Jiwa perantau makin matang saat ia memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mencari kerja usai menyelesaikan sekolah pada 1980.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :MEET THE GEEK Nikko dan Hacker yang Tak Selamanya Harus Menyerang |
Ia diterima bekerja di Jaya Ancol sebagai analis kimia dengan tugas menjaga kesehatan air di sekitar tempat wisata itu. Dia bertahan selama satu tahun dua bulan di sana.
Kariernya di dunia nuklir diawali saat ia melamar ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), lembaga yang kini sudah dilebur ke BRIN. Kala itu, ia dibutuhkan untuk menangani penelitian rimpang yang berfokus pada bahan-bahan jamu seperti kencur dan bahan rempah lainnya.
Sambil bekerja di BATAN, ia menempuh studi di Universitas Muhammadiyah Jakarta mengambil studi di Fakultas Pertanian. Dengan alasan mahasiswa angkatan pertama dengan sekelumit jeratan sistem kelulusan, Basril baru bisa mendapatkan gelar insinyur usai tujuh tahun studi.
Setelah lulus, ia berharap dapat mengaplikasikan ilmu disiplin untuk mengembangkan penelitian di BATAN. Namun, atasannya kala itu meminta Basril untuk bergabung dalam penelitian jaringan biologi.
Lihat Juga : |
Penelitian di bidang jaringan pertama Basril yaitu memanfaatkan amnion atau membran janin yang paling dalam (selaput plasenta bayi). Amnion yang diteliti itu digunakan untuk penutup luka.
"Jadi luka-luka apapun baik besar maupun kecil mau di mata bisa dipakai. Banyak sebetulnya penggunaannya bagaimana memproduksi amnion itu menjadi bahan biomaterial untuk bidang kedokteran," tuturnya.
Pengembangan amnion, katanya, memanfaatkan teknologi radiasi nuklir untuk sterilisasi. Menurut dia, sterilisasi dengan cara pemanasan selain rumit juga bisa merusak sel sehingga bisa memicu kanker bagi orang yang menggunakannya.
Dengan teknologi nuklir, produk biomaterial dengan mudah disterilisasi cukup dengan memasukkannya dalam kemasan ke dalam perangkat nuklir.
Kendati penelitiannya dilego dengan total Rp2 miliar, Basril dan kelompok peneliti tak mendapat utuh. Pihaknya mendapatkan royalti dari penjualan sebesar 30 persen dari nilai total.
Namun, aku dia, hal itu tak menjadi persoalan karena yang terpenting adalah penelitian tersebut bisa bermanfaat bagi orang banyak.
"Itu langsung dua produk, satu produk harganya Rp1 miliar, jadi dua produk Rp2 miliar. Kalau untuk saya sendiri bisa dapat besar, tapi inikan untuk kantor untuk BRIN. Jadi kita dari tim dapatnya 30 persen," tuturnya.
"Yang paling penting itu bagaimana ia bisa dipakai di masyarakat. karena kalau impor harganya mahal," imbuh pria yang sudah punya satu cucu tersebut.
Basril menjelaskan dua produk yang ditelitinya itu bisa dijual di pasaran dengan rentang harga Rp200 ribu-Rp500 ribu. Untuk produk sejenis dari impor, harga jual di pasaran bisa mencapai Rp1 juta-2 juta.
Ia menjelaskan bahan baku medis tersebut bisa bertahan lama jika sudah diproduksi. Setidaknya dalam waktu lima tahun masih bisa digunakan untuk menunjang medis.
Saat ini, Basril memiliki 11 penelitian yang sudah memiliki hak paten, tinggal menunggu industri yang membutuhkan penelitiannya itu untuk diproduksi massal.
Dari 11 produk itu setidaknya ada tiga hasil riset yang berpotensi disasar industri. Di antaranya adalah Hidroksiapatit dari tulang sapi.
Fungsinya adalah untuk memperbaiki jaringan tulang yang retak atau buat yang sudah mulai kekurangan zat kapur di tulangnya.
Basril juga menggarisbawahi teknologi nuklir bisa bermanfaat di berbagai bidang penelitian, tidak hanya untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Menurutnya, penelitian di bidang biomaterial masih bertumbuh di Indonesia. Hal itu diiringi pemanfaatan teknologi nuklir untuk sterilisasi produk.
Belum lama, Basril diminta oleh salah satu universitas untuk sterilisasi biomaterial. Kobalt 60, bahan radiasi nuklir yang ia gunakan di BRIN, pun masih sangat dibutuhkan karena belum banyak lembaga penelitian yang memiliki.
"Bahan biomaterial itu misalnya untuk metal-metal, orang ortopedi misalnya banyak metal untuk pen-pen, itu masuk ke dalam tubuh harus steril," ujarnya.
Ia menjelaskan Kobalt bisa memancarkan sinar radiasi yang sinar elektromagnetiknya bisa dimanfaatkan untuk sterilisasi benda biomaterial.
"Kalau kebutuhan biomaterial semakin banyak maka kebutuhan tools radiasi itu masih dibutuhkan," tandas dia.
(arh/can/arh)