Jakarta, CNN Indonesia --
Basril (62), peneliti yang berstatus peraih royalti terbesar di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 2022, mengajarkan produk nyata yang berguna bagi masyarakat banyak butuh banyak sektor penelitian dan tahapan yang panjang. Simak perjuangan studinya.
Bunyi pesan singkat berdering di siang bolong pada pertengahan Mei 2022 dari Basril. Isinya menunjukkan nomor gedung laboratorium tempatnya bekerja di Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi, Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN.
Yakni, gedung laboratorium 41A di Kawasan Riset Teknologi Keselamatan Metrologi dan Mutu Nuklir, Pasar Jumat, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Basril jadi pembicaraan di media usai didapuk sebagai peraih Anugerah Kekayaan Intelektual 2023. Nilai royalti yang didapat bukan kaleng-kaleng; Rp2 miliar. Hal itu didapat usai tim peneliti mendapat 'bohir' yang mau membeli hasil risetnya.
Apa yang mereka teliti?
Tim penelitian yang dipimpin oleh Basril itu meneliti bahan biomaterial dengan memanfaatkan radiasi nuklir untuk sterilisasi.
Industri asal Bogor yang berfokus pada produk kimia, PT. Focustindo Cemerlang, berani membeli dua penelitian Basril, yaitu Membran Perikardium dan Graft Tulang Demineralisasi Steril Radiasi, pada 2022.
Produk yang dihasilkan Basril berbentuk granul atau serbuk dan pelapis jaringan untuk merangsang pertumbuhan gigi dan tulang.
Biasanya, pasca-pencabutan gigi terdapat defect (cacat) di tulang rahang. Kedua penelitian Basril dan timnya itulah yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan jaringan baru dari tulang yang kosong.
"Jadi nanti akan tumbuh tulang baru sehingga ada pemadatan tulang. Biasanya dahulu kan kita cabut dan selesai. Itu tulangnya masih lekuk dan belum rata dengan tulang sebelahnya," kata dia saat ditemui CNNIndonesia.com di kantornya, Jakarta, Selasa (16/5).
Penelitian itu berjalan panjang hingga akhirnya Basril dan tim peneliti menghasilkan produk yang bisa merangsang pertumbuhan tulang yang cedera maupun cacat akibat operasi.
Awal mula
Semuanya bermula pada 2000 saat ia diminta oleh salah satu Rumah Sakit di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, untuk meneliti bahan pengganti tulang bekas operasi.
"Penelitian itu sebetulnya perjalanannya panjang, penelitian dari tahun 2000 kami sudah fokus bekerja dari dua penelitian itu (membran perkikardium dan graft tulang). Karena dua-duanya ini sebetulnya penggunaanya pada tempat yang sama," tuturnya.
Pada 2005, seorang rekan yang sedang mengambil spesialis periodontal atau struktur jaringan penyangga gigi yang mengelilingi akar mendatangi Basril untuk berdiskusi kebutuhan penelitian di jaringan gigi tersebut.
Akhirnya, produk penelitian itu diaplikasikan kepada seorang pasien untuk bahan penelitian tersebut. Hasil akhirnya terbilang bagus dan tidak kalah dengan hasil produk impor.
"Kami tambah semangat. Ini sudah ada dua penggunaan untuk tulang dan gigi," serunya.
Kendati sudah banyak yang membutuhkan penelitiannya, ia dan tim peneliti justru kebingungan mencari bahan baku untuk membuat bubuk perangsang gigi dan tulang.
Lantaran butuh jaringan tubuh dari manusia, ayah tiga orang anak itu putar otak untuk mencari bahan pengganti. Dia bereksperimen dengan memanfaatkan membran pada jaringan yang terdapat di selaput jantung sapi.
Menurutnya, selaput jantung sapi memiliki kandungan kolagen yang sangat tinggi sehingga cocok untuk tubuh manusia.
Banyak penelitian sebelumnya juga memanfaatkan jaringan sapi dan babi untuk bahan baku membuat jaringan tersebut. Namun, ia memilih sapi karena sesuai dengan penelitiannya.
Singkat cerita, Basril akhirnya mengajukan hak paten Membran Perikardium pada 2014. Selang setahun kemudian ia mengajukan hak paten pada Graft Tulang Demineralisasi Steril Radiasi pada 2015.
Barulah pada 2019 penelitian yang berbentuk serbuk dan jaringan perangsang itu resmi mendapatkan hak kekayaan intelektual dari Kementerian Hukum dan HAM.
Kini, perusahaan yang telah membeli lisensi penelitiannya itu tengah mengurus izin edar untuk kemudian memproduksi massal dan disosialisasikan kepada rumah sakit atau klinik yang membutuhkan kedua produk tersebut.
Masa kecil hingga 11 hak paten di halaman berikutnya...
Sedari kecil, Basril, yang lahir 13 Agustus 1960 di Pariaman, Sumatera Barat, punya cita-cita menjadi dokter karena ingin memajukan dunia kesehatan di daerahnya.
Ketika masuk jenjang sekolah menengah, ia memilih sekolah kejuruan bidang analis kimia di Padang. Jarak sekolah dan rumah mencapai 55 kilometer. Itu membuatnya harus merantau sendirian di ibu kota Sumbar tersebut.
Jiwa perantau makin matang saat ia memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mencari kerja usai menyelesaikan sekolah pada 1980.
Ia diterima bekerja di Jaya Ancol sebagai analis kimia dengan tugas menjaga kesehatan air di sekitar tempat wisata itu. Dia bertahan selama satu tahun dua bulan di sana.
Kariernya di dunia nuklir diawali saat ia melamar ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), lembaga yang kini sudah dilebur ke BRIN. Kala itu, ia dibutuhkan untuk menangani penelitian rimpang yang berfokus pada bahan-bahan jamu seperti kencur dan bahan rempah lainnya.
Sambil bekerja di BATAN, ia menempuh studi di Universitas Muhammadiyah Jakarta mengambil studi di Fakultas Pertanian. Dengan alasan mahasiswa angkatan pertama dengan sekelumit jeratan sistem kelulusan, Basril baru bisa mendapatkan gelar insinyur usai tujuh tahun studi.
Setelah lulus, ia berharap dapat mengaplikasikan ilmu disiplin untuk mengembangkan penelitian di BATAN. Namun, atasannya kala itu meminta Basril untuk bergabung dalam penelitian jaringan biologi.
Penelitian di bidang jaringan pertama Basril yaitu memanfaatkan amnion atau membran janin yang paling dalam (selaput plasenta bayi). Amnion yang diteliti itu digunakan untuk penutup luka.
"Jadi luka-luka apapun baik besar maupun kecil mau di mata bisa dipakai. Banyak sebetulnya penggunaannya bagaimana memproduksi amnion itu menjadi bahan biomaterial untuk bidang kedokteran," tuturnya.
Pengembangan amnion, katanya, memanfaatkan teknologi radiasi nuklir untuk sterilisasi. Menurut dia, sterilisasi dengan cara pemanasan selain rumit juga bisa merusak sel sehingga bisa memicu kanker bagi orang yang menggunakannya.
Dengan teknologi nuklir, produk biomaterial dengan mudah disterilisasi cukup dengan memasukkannya dalam kemasan ke dalam perangkat nuklir.
[Gambas:Infografis CNN]
Cuma 30 persen
Kendati penelitiannya dilego dengan total Rp2 miliar, Basril dan kelompok peneliti tak mendapat utuh. Pihaknya mendapatkan royalti dari penjualan sebesar 30 persen dari nilai total.
Namun, aku dia, hal itu tak menjadi persoalan karena yang terpenting adalah penelitian tersebut bisa bermanfaat bagi orang banyak.
"Itu langsung dua produk, satu produk harganya Rp1 miliar, jadi dua produk Rp2 miliar. Kalau untuk saya sendiri bisa dapat besar, tapi inikan untuk kantor untuk BRIN. Jadi kita dari tim dapatnya 30 persen," tuturnya.
"Yang paling penting itu bagaimana ia bisa dipakai di masyarakat. karena kalau impor harganya mahal," imbuh pria yang sudah punya satu cucu tersebut.
Basril menjelaskan dua produk yang ditelitinya itu bisa dijual di pasaran dengan rentang harga Rp200 ribu-Rp500 ribu. Untuk produk sejenis dari impor, harga jual di pasaran bisa mencapai Rp1 juta-2 juta.
Ia menjelaskan bahan baku medis tersebut bisa bertahan lama jika sudah diproduksi. Setidaknya dalam waktu lima tahun masih bisa digunakan untuk menunjang medis.
Saat ini, Basril memiliki 11 penelitian yang sudah memiliki hak paten, tinggal menunggu industri yang membutuhkan penelitiannya itu untuk diproduksi massal.
Dari 11 produk itu setidaknya ada tiga hasil riset yang berpotensi disasar industri. Di antaranya adalah Hidroksiapatit dari tulang sapi.
[Gambas:Photo CNN]
Fungsinya adalah untuk memperbaiki jaringan tulang yang retak atau buat yang sudah mulai kekurangan zat kapur di tulangnya.
Nasib nuklir di RI
Basril juga menggarisbawahi teknologi nuklir bisa bermanfaat di berbagai bidang penelitian, tidak hanya untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Menurutnya, penelitian di bidang biomaterial masih bertumbuh di Indonesia. Hal itu diiringi pemanfaatan teknologi nuklir untuk sterilisasi produk.
Belum lama, Basril diminta oleh salah satu universitas untuk sterilisasi biomaterial. Kobalt 60, bahan radiasi nuklir yang ia gunakan di BRIN, pun masih sangat dibutuhkan karena belum banyak lembaga penelitian yang memiliki.
"Bahan biomaterial itu misalnya untuk metal-metal, orang ortopedi misalnya banyak metal untuk pen-pen, itu masuk ke dalam tubuh harus steril," ujarnya.
Ia menjelaskan Kobalt bisa memancarkan sinar radiasi yang sinar elektromagnetiknya bisa dimanfaatkan untuk sterilisasi benda biomaterial.
"Kalau kebutuhan biomaterial semakin banyak maka kebutuhan tools radiasi itu masih dibutuhkan," tandas dia.