ANALISIS

Segenting itukah Proyek Giant Sea Wall?

CNN Indonesia
Jumat, 12 Jan 2024 08:51 WIB
Giant Sea Wall atau tanggul Jakarta digadang-gadang kembali soal urgensinya oleh capres nomor urut 2 Prabowo Subianto. Memangnya tak ada solusi lebih murah?
Tanggul laut di Muara Baru dan Masjid Wal Aduna, 2021, bukti nyata sebagian Jakarta sudah di bawah air. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)

Posisi Jakarta yang sebagiannya ada di bawah permukaan air laut itu dipicu terutama oleh penurunan muka tanah. Apa kenaikan air laut tak signifikan?

Pada 2020, wilayah DKI yang sudah berada di bawah permukaan laut bertambah 9.556 hektare atau 14,43 persen dari total wilayah Jakarta.

"Hampir 20 persen total wilayah Jakarta di bawah laut. Penurunan tanah lah yang signifikan menyebabkan banjir rob. Dan sekarang tidak terbantahkan," ungkap Heri Andreas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut hasil studinya dengan jalan memakai global positioning system (GPS) untuk mengukur ketinggian daratan terhadap permukaan laut di titik yang sama secara berulang, permukaan tanah di DKI rata-rata mengalami penurunan 1-20 cm per tahun.

"Saya sudah 20 tahun mengukur di Jakarta, di titik koordinat yang sama, ternyata tingginya berubah," kata Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut.

"Ternyata penurunan [tanah]-nya ada yang sampai 10 cm per tahun, bahkan 20 cm per tahun. Dalam 10 tahun udah 1 meter. Kemudian kalau 100 tahun akan ada penurunan 10 meter. Inilah yang paling signifikan sebagai penyebab banjir rob. Karena kan tanah turun terus, lama-lama di bawah laut," urai dia.

Sementara itu, menurut kajian satelit lembaga antariksa AS (NASA), kenaikan permukaan air laut secara global sejak 1993 hingga 2 Mei 2022 mencapai 101,2 mm (10,1 cm), atau 3,3 mm per tahun. Jauh dari angka penurunan muka tanah Jakarta.

Lalu apa pemicu penurunan tanah itu?

Heri mengungkap beberapa faktor, seperti beban dari bangunan, aktivitas tektonik, pengambilan air tanah yang berlebihan, hingga pemadatan tanah atau kompaksi secara alamiah.

Dan penyedotan air tanahlah yang tercatat paling signifikan.

Untuk meneliti faktor apa yang paling signifikan, Heri dan tim peneliti memakai data pengukuran dan pemodelan. Hasilnya, kompaksi alamiah berkontribusi 1-2 cm per tahun (10-20 persen terhadap penurunan muka tanah tahunan).

Beban infrastruktur dan urukan, menurut data pemodelan, data empiris, dan pengambilan sampel batuan, berkontribusi 1-2 cm per tahun.

Infografis Pencurian Air Tanah DKI JakartaInfografis Pencurian Air Tanah DKI Jakarta. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia)


"Kita kurangkan 2 cm kompaksi alamiah, kita kurangkan 2 cm dari beban infrastruktur dan urukan, berarti 6 cm [disumbang oleh] eksploitasi air tanah," ujar Heri.

Apa tak ada kontribusi efek tektonik terhadap penurunan tanah Jakarta?

Heri kemudian mengkaji kaitan tektonik di berbagai titik di Indonesia dengan penurunan tanah. Hasilnya, itu berkontribusi 1 hingga 3 mm atau maksimal 3 persen dari penurunan tanah rata-rata.

"Setelah meneliti ketahuan [bahkan] ada [muka tanah] yang naik di wilayah Pelabuhan Ratu, wilayah Ujung Kulon. Ternyata sebagian pulau Jawa naik," tukas dia.

Endra S Atmawidjaja pun sepakat dengan para pakar soal eksploitasi air tanah berlebih yang memicu penurunan muka tanah.

"Jadi artinya laju penurunan muka tanah atau land subsidence itu 1-10 cm per tahun," ucapnya, saat dihubungi, Rabu (23/2/2022).

"Ada eksploitasi pengambilan air tanah yang berlebihan yang sudah berpuluh-puluh tahun untuk konsumsi masyarakat dan itu yang penyebabnya. Selain faktor lain yaitu sea level rise akibat perubahan iklim. Jadi tanah turun, laut naik, makanya masuk ke darat," ujar dia.

Studi Masyhur Irsyam (2016) pun mengungkap penyebab dominan penurunan muka tanah adalah ekstraksi air tanah (40-70 persen atau 4-6 cm per tahun).

Sisanya, beban bangunan bertingkat tinggi (10 persen atau 1 cm per tahun); kompaksi natural urugan tanah (20-50 atau 1,5-5 cm per tahun); dan aktivitas tektonik (5 persen atau kurang dari 0,5 cm per tahun).

EKOMARIN pun menilai "penyebab land subsidence yang harus diselesaikan lebih dahulu."

"Kita dapat berkaca dari pengalaman negara lain seperti Jepang di Tokyo dan Thailand di Bangkok, penurunan muka tanah dapat berangsur berkurang dengan penghentian sama sekali penggunaan air tanah," ungkap lembaga tersebut.

"Pengalaman Tokyo dimulai sejak 1950 selama dua dekade hingga 1970 menghentikan penggunaan air tanah berhasil menurunkan rerata land subsidence."

Marthin Hadiwinata dari EKOMARIN mencontohkan sejumlah kebijakan yang berpihak pada penyetopan penyedotan air tanah.

Yakni, moratorium pembangunan bangunan pusat perbelanjaan di Jakarta oleh Gubernur DKI Fauzi Bowo pada 2011, dan penghentian penggunan air tanah oleh Gubernur DKI Anies Baswedan melalui Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah.

Kritik lain terhadap Giant Sea Wall di halaman berikutnya...

Sorotan Lain di Luar Penurunan Muka Tanah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER