Marthin Hadiwinata dari EKOMARIN juga memaparkan beberapa titik kritis lain yang disoroti kalangan aktivis selain penyelesaian penyebab penurunan muka tanah.
Pertama, masalah flushing dan sendimentasi.
Giant Sea Wall ini berpotensi memicu perubahan pola sedimentasi akibat perubahan garis pantai, hidrologi, dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peningkatan kecepatan arus juga akan meningkatkan tekanan terhadap ekosistem di Kepulauan Seribu akibat meningkatnya transportasi material, termasuk bahan pencemar dan sedimen.
"Dampak lain yang diterima karena sifat dinamisnya laut adalah pertumbuhan karang di Kep. Seribu yang akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan sedimen."
Kedua, pencemaran air di wilayah tertutup tanggul laut.
Menurut Widjo Kongko, peneliti Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT), pembangunan NCICD itu akan memicu penurunan kualitas air di dalam perairan wilayah tanggul laut.
Penurunan kualitas air ditandai dengan perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.
Ketiga, privatisasi dan skses air perpipaan.
EKOMARIN menyebut akses air bersih disebabkan oleh adanya privatisasi pengelolaan air bersih di Jakarta.
Privatisasi air yang berjalan selama 25 tahun dengan perjanjian antara PDAM Jakarta Raya dengan PT. Palyja dan PT Aetra memang telah resmi berakhir pada Februari 2023.
Namun, Gubernur Anies menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan PT MOYA Indonesia mengenai Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum melalui Optimalisasi Aset Eksisting dan Penyediaan Aset Baru dengan Skema Pembiayaan Bundling.
Keempat, politik dagang Pemerintah Kerajaan Belanda.
EKOMARIN menyatakan Proyek Tanggul laut ini menjadi adalah salah satu proyek strategis nasional.
Perencanaan proyek tanggul laut ini awalnya bernama JCDS sebagai bantuan dari Kerajaan Belanda namun berganti menjadi sarana untuk memfasilitasi perdagangan jasa untuk korporasi multinasional asal Belanda.
"Yang kemudian akan mendapatkan keuntungan dari pembiayaan jasa pengerukan dan reklamasi."
Kelima, kerugian buat nelayan di Teluk Jakarta.
Wilayah Teluk Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan. Sebanyak 33.500 nelayan tercatat mendiami wilayah ini.
"Pembangunan tanggul laut akan berdampak kepada nelayan kecil yang mengelola sumber daya laut di Teluk Jakarta," kata EKOMARIN.
Menurut Ramadhan et al. (2016), potensi kerugian nelayan dari hilangnya wilayah perairan akibat megaproyek ini mencapai Rp94.714.228.734 (Rp94,7 miliar) per tahun, kerugian pembudidaya kerang Rp98.867.000.591 (Rp98,9 miliar) per tahun, kerugian pembudidaya ikan di tambak Rp13.572.063.285 (Rp13,6 miliar) per tahun.
(tim/arh)