Pengamat digital dan keamanan siber Vaksin.com, Alfons Tanujaya menyebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika data pribadi masyarakat Indonesia disimpan atau dikelola Amerika Serikat (AS).
"Jika pemerintah RI benar-benar mengizinkan data masyarakat dikelola atau disimpan di AS, harus ada syarat minimum. Perusahaan AS harus tunduk pada UU PDP Indonesia dan audit dari Komisi PDP," ujar Alfons dalam sebuah keterangan, Kamis (24/7).
Selain kepatuhan terhadap Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), Alfons mengatakan data yang disimpan di AS harus dienkripsi dan tidak boleh diakses tanpa persetujuan eksplisit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus ada perjanjian bilateral untuk mencegah penyalahgunaan oleh otoritas asing," tambahnya.
Terpisah, Pakar Keamanan Siber CISSRec Pratama Persadha mengatakan penyusunan kesepakatan bilateral antara Indonesia dan negara tujuan transfer data, seperti AS, mungkin diperlukan.
"Bila perlu, disusun kesepakatan bilateral yang menjamin perlindungan hak-hak digital WNI, termasuk hak untuk dihapus, hak atas pemberitahuan, dan hak untuk menggugat pelanggaran privasi, meskipun data berada di luar negeri," katanya dalam sebuah keterangan, Kamis (24/7).
"Pendekatan ini akan menunjukkan bahwa Indonesia tidak sekadar mengikuti arus global, tetapi aktif membentuknya berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan digital," imbuhnya.
Lebih lanjut, Pratama mengatakan keterlibatan Indonesia dalam kerja sama transfer data harus tetap menjaga prinsip non-blok digital yang selama ini menjadi ciri khas diplomasi siber Indonesia.
"Di tengah rivalitas global antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Indonesia harus tetap menjadi jangkar stabilitas digital kawasan ASEAN, dengan menawarkan model tata kelola data yang menjunjung inklusivitas, kedaulatan, dan keadilan lintas batas," katanya.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membocorkan poin-poin kerja sama perjanjian dagang dengan Indonesia mengenai tarif resiprokal. Salah satu poin kesepakatan itu adalah komitmen transfer data pribadi dari Indonesia ke Amerika Serikat.
Gedung Putih, dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Selasa (22/7) waktu setempat, menyatakan Indonesia akan menyediakan kepastian terhadap kemampuan memindahkan data personal ke AS.
"Indonesia akan memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat," demikian pernyataan Gedung Putih, dikutip Rabu (23/7).
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid buka suara terkait perjanjian tersebut. Ia memastikan komitmen transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat tidak dilakukan sembarangan.
"Pemerintah memastikan bahwa transfer data ke Amerika Serikat tidak dilakukan sembarangan," kata Meutya dalam keterangan resminya, Kamis (24/7).
Sebaliknya, kata Meutya, seluruh proses dilakukan dalam kerangka secure and reliable data governance, tanpa mengorbankan hak-hak warga negara. Ia menambahkan dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, Indonesia tidak tertinggal dalam dinamika ekonomi digital global.
Meutya juga menjelaskan bahwa negosiasi mengenai kesepakatan dagang antara AS dan Indonesia, termasuk komitmen transfer data, masih dalam tahap finalisasi. Pembicaraan teknis masih berlangsung.
Komdigi menegaskan finalisasi kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan AS bukan bentuk penyerahan data pribadi secara bebas, melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi
(lom/dmi)