Kenapa Pohon Sawit Tak Bisa Gantikan Peran Hutan Alami Cegah Banjir?
Meski sama-sama berupa pohon, kelapa sawit ternyata tidak memiliki fungsi ekologis yang setara dengan hutan alami dalam mencegah bencana banjir dan longsor. Perbedaan struktur vegetasi, sistem perakaran, serta keragaman hayati membuat kebun sawit tidak mampu bekerja sebagai penyangga hidrologi sebagaimana fungsi hutan.
Perbedaan ini yang kerap luput dipahami. Di tengah semakin masifnya luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, muncul anggapan bahwa keberadaan sawit sudah cukup menggantikan fungsi hutan karena sama-sama hijau, atau sekadar sama-sama pohon, karena memiliki daun.
Padahal secara ilmiah, kemampuan keduanya dalam mengelola air hujan dan menjaga kestabilan tanah sangat berbeda.
Kondisi ini kembali menarik perhatian setelah bencana banjir dan longsor memporakporandakan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu. Curah hujan tinggi yang seharusnya dapat diserap oleh hutan alami, justru berubah menjadi aliran yang merusak di kawasan dengan tutupan hutan yang telah beralih fungsi.
Data Kementerian Pertanian pada 2024, saat ini luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,83 juta hektare, menjadikan negara ini sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Di banyak wilayah, ekspansi ini berlangsung bersamaan dengan menyusutnya hutan alami.
Lalu, mengapa pohon sawit tidak bisa menggantikan peran hutan alami dalam menangani banjir?
Ahli Ekofisiologi Tumbuhan dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Taufikurahman menjelaskan fungsi ekologis antara pohon sawit dan pohon lainnya di hutan berbeda. Terlebih, kelapa sawit merupakan tanaman monokultur.
"Kebun kelapa sawit itu monokultur dengan jarak antar tanaman sekitar 9 meter. Ada ruang terbuka antarpohon dan akarnya serabut sehingga dangkal. Hal inilah yang menyebabkan sawit kurang bisa menahan air dan mengikat tanah," kata Taufikurahman, melansir laman resmi ITB, Selasa (16/12).
Ia menjelaskan akar sawit berbentuk serabut dengan kedalaman terbatas sekitar 1,5 hingga 2 meter, sehingga kurang mampu memberikan penyangga mekanis yang kuat terhadap tanah, terutama di wilayah miring.
Berbeda dari hutan alami yang memiliki akar dalam, berlapis, dan saling terkait antarspesies, kebun sawit justru memiliki pola akar yang seragam dan dangkal. Akibatnya, tanah mudah tergerus ketika terjadi arus deras air larian (run off) akibat intensitas hujan yang tinggi.
Rendahnya keanekaragaman tumbuhan di kebun sawit menyebabkan menurunnya intensitas siklus nutrisi alami yang menjaga kualitas tanah. Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida yang intens dapat mengganggu biota tanah yang justru dibutuhkan untuk mempertahankan struktur tanah yang sehat.
Dengan demikian, walaupun kelapa sawit merupakan tumbuhan hijau dan berakar, struktur ekologis tidak cukup berperan sebagai penyangga hidrologi dan penguat tanah sebagaimana hutan alami.
Banjir dan tanah longsor yang kian sering terjadi di Indonesia dalam dua dekade terakhir tak bisa dilepaskan dari perubahan tutupan lahan. Curah hujan tinggi yang seharusnya dapat diserap lingkungan, kini justru berubah menjadi aliran permukaan yang merusak, terutama di wilayah yang hutan alaminya telah beralih fungsi.
Menurut Taufikurahman dalam banyak kasus, konversi hutan alami menjadi hutan produksi monokultur seperti kebun sawit menjadi faktor pemicu utama. Hilangnya vegetasi alami menyebabkan sistem hidrologi yang sebelumnya bekerja secara mandiri menjadi terganggu.
Hutan sebagai penyeimbang ekosistem di halaman berikutnya...