Sumbangan Letusan Tambora bagi Seni Eropa

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Selasa, 14 Apr 2015 09:10 WIB
Letusan Tambora, dua abad lalu, menyumbangkan ukiran sejarah bagi dunia seni. J.M.W. Turner melukiskan langit Eropa pasca "amukan" gunung di NTB itu.
Dok. Georesearch Volcanedo Germany
Jakarta, CNN Indonesia -- Matahari terbenam di mata penduduk Eropa tak pernah berwarna jingga kental. Biasanya langit hanya menggelap, atau sedikit kekuningan. Namun lukisan J.M.W. Turner menunjukkan pemandangan langit yang benar-benar berbeda.

Lihat saja lukisannya yang berjudul Chichester Canal Circa, dirampungkan pada 1828. Di atas kanal dengan perairan tenang sebening kaca itu, ada langit keemasan. Awannya seperti menyimpan sesuatu berwarna kelabu bak polusi.

Lukisannya yang lain lagi, dirampungkan pada tahun-tahun sekitar 1800-an, bernuansa sama. Atmosfernya dipenuhi warna oranye, dengan langit pekat. Kalau pun ada sinar matahari, berkas-berkasnya seperti menembus awan tebal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Turner bukan melukis imajinasi. Pada tahun-tahun itu, Eropa memang tengah dibekap sesuatu. Ada lapisan seperti atmosfer tambahan di atas langitnya, yang membuat sinar matahari perlu tenaga ekstra untuk menembusnya.

Atmosfer tambahan itu yang membuat Eropa dilanda musim dingin berkepanjangan. Tanahnya lebih mirip es untuk ditanami. Tak heran masyarakat kala itu kelaparan. 1800-an Eropa didera "kiamat kecil". Ratusan ribu orang meninggal karena kelaparan dan kedinginan.

Tahukah Anda, apa penyebabnya?

Yang menjadi inspirasi Turner melukis langit pekat Eropa itu adalah letusan Tambora. Tahun 1815, gunung yang berlokasi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia itu memuntahkan isi perutnya. Sekitar 60 ribu orang meninggal.

Letusan tambora juga berdampak ke negara-negara lain. Tiongkok gagal panen. Rakyat Perancis sampai harus makan kucing dan tikus.

Namun letusan Tambora dua abad lalu itu juga menyumbangkan ukiran sejarah bagi dunia seni. Selain Turner yang mengabadikan kondisi langit Eropa tanpa musim panas, ada pula sebuah grup rock bernama Rasputina yang memanfaatkannya.

Mengutip Wikipedia, grup itu punya sebuah lagu berjudul 1816, The Year Without A Summer. Lagu itu muncul di album 2007, Oh Perilous World.

Masih ada penyanyi folksong, Pete Sutherland yang menciptakan lagu juga tentang ledakan Tambora. Judulnya 1800 and Froze-to-Death. Lagu itu direkam tahun 2009 untuk album berjudul Thufters and Through-Stones: The Music of Vermont's first 400 Years.

BUkan itu saja. Tahun 1800-an saat Tambora meletus juga digunakan novelis Guillermo del Toro sebagai masa penciptaan vampir. Bersama penulis Amerika, Chuck Hogan tahun 1816 direferensikan sebagai munculnya vampir karena Eropa dirundung kegelapan. Itu tertulis dalam tesis berjudul Why Vampires Never Die.

Kini, usia letusan Tambora dua abad sudah. Masyarakat dan pemerintah Indonesia memeringatinya tidak lagi dengan duka, melainkan suka cita. Berbagai kegiatan seni budaya dan kuliner digelar gegap gempita.

(rsa/vga)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER