Bandung, CNN Indonesia -- Yoyo Budiman pernah menjadi pengusaha layar tancap dari Bandung sejak 1984. Sebelumnya, ia bekerja di bioskop. Ia kemudian memilih keluar untuk berbisnis layar tancap dengan brand Budiman Film. Usahanya itu telah membuatnya berkeliling ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bandung, Cianjur, Subang, Garut, dan lainnya.
Awalnya, Yoyo hanya mengadakan pertunjukan saat ada panggilan, misalnya untuk hajatan. Semakin lama, Budiman Film semakin dikenal oleh putera daerah. Sepuluh unit ia sebar ke berbagai daerah. “Jadi unit disimpan di sana, dia (putera daerah) sebagai penghubung. Kalau ada hajatan, mereka datang ke Jalan Elang ini untuk sewa,” ucap Yoyo saat ditemui di bengkel motornya di kawasan Elang, Bandung, baru-baru ini.
Untuk melebarkan sayap Budiman Film, Yoyo juga mengadakan pertunjukan atas inisiatif sendiri. Biasanya ia bekerjasama dengan kecamatan, memberlakukan sistem karcis masuk. “Kalau ngadain sendiri biasanya kita kerja sama, sama kecamatan. Kita yang menyediakan unit dan film. Hasilnya nanti dibagi,” kata Yoyo yang sudah tidak ingat kapan terakhir kali melakukan pertunjukan.
Yoyo mengaku, ada kebanggaan tersendiri yang ia dapatkan dari usaha layar tancap itu. Ia senang karena bisa menghibur orang-orang di daerah. “Karena kan di daerah itu haus hiburan, waktu itu listrik belum masuk ke desa-desa. Jadi, begitu ada hiburan kita tuh disambut. Orang-orang pada datang,” ujarnya terlihat senang.
Dibanding medium pemutaran film yang lain, Yoyo menganggap kelebihan layar tancap adalah menawarkan suasana yang lebih akrab. Menonton layar tancap bisa menjadi ajang pertemuan antar kerabat, teman, atau pasangan muda-mudi di daerah. “Ramai sekali sebelum pertunjukan itu. Pada bawa obor, ada yang dagang macam-macam. Sambil bawa makanan, bawa tikar. Asyiklah pokoknya,” kenangnya sambil tertawa.
Yoyo pernah bekerja di distributor film yang membagikan filmnya ke bioskop-bioskop. Ia bercerita, dulu ada beberapa orang pengusaha bioskop di Bandung. Film-film dari negara yang berbeda, diputar di bioskop yang berbeda pula. “Khusus film barat, diputar di Gedung Nusantara di Alun-alun. Film India biasanya di bioskop Dian dan Aneka. Bioskop Elita kadang-kadang film silat Mandarin.”
Film-film yang ditayangkan Budiman Film, ia ambil dari distributor. Namun, ada aturan main yang harus dipatuhi, film hanya dapat diambil setelah dua tahun di bioskop. “Di situlah kita ketinggalan. Karena aturan itu, layar tancap kalah termakan sama teknologi. Begitu gedung bioskop muter filmnya, kan udah ada yang nembak (bajak). Jadi, orang tinggal nonton dari VCD,” ungkapnya dengan ekspresi yang redup.
Menurut Yoyo yang saat itu mengenakan kaos hitam, selain munculnya VCD dan tumbuhnya bioskop modern, menjamurnya aplikasi streaming yang bisa diakses melalui telepon genggam dan koneksi internet pun dianggap semakin menghapus jejak layar tancap. “Kayak sekarang gedung bioskop, kita gak usah lihat di gedung bioskop, kita di HP aja udah bisa lihat film-film terbaru.”
Teknologi memberi masyarakat kemudahan untuk mengakses film, tapi juga sekaligus memaksa layar tancap untuk mundur. Maraknya kaset bajakan membuat Yoyo sadar bisnisnya tidak bisa langgeng. Sempat merasa kalah dengan medium yang lebih canggih, pada akhirnya ia menerima keadaan karena jika diteruskan pun modal tidak akan kembali.
“Harus nerima karena keadaannya. Kita mau digimanain, hati sebetulnya menjerit. Menjeritnya kita sudah ya modal, sudah banyak temen. Untuk silaturahmi kalau gak ada penghubung juga agak susah. Kalau ada, kita kan bisa komunikasi terus. Sekarang di daerahnya tidak jalan, kita juga persediannya buat apa. Ya lama-lama kan bangkrut,” tambahnya.
Dalam perjalanan kariernya, Yoyo pernah ditunjuk Departemen Penerangan untuk menjadi Ketua Pertunjukan Film Keliling Indonesia cabang Bandung. Departemen itu pun bekerja sama dengan Budiman Film dalam penyuluhan program keluarga berencana. “Sebelumnya kita putar dulu film hiburan biar pada ngumpul. Kalau udah banyak yang datang, baru diputar film penyuluhannya.”
Lelaki berusia 67 tahun ini memilih fokus untuk menggeluti hobinya setelah berhenti berbisnis layar tancap. Yoyo memiliki bengkel motor di depan rumahnya. “Semenjak berhenti, karena saya hobi motor besar, ya ke daerah-daerah pakai motor besar. Sekarang udah enam tahun seneng naik sepeda ke daerah-daerah,” ucap Yoyo seraya menunjukkan motor besarnya.