Mengenal Hardiman Radjab dan Perjalanan Seni Rupanya

CNN Indonesia
Senin, 31 Jul 2017 16:15 WIB
Berbagi sebuah kisah perjalanan koper, seni rupa trimatra Hardiman Radjab, awal tanpa akhir.
Seni instalasi bertajuk Curtain Call dari Hardiman Radjab (Youtube.com/GogorPurwoko)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Curtain Call.” Berbagi sebuah kisah perjalanan koper, seni rupa trimatra Hardiman Radjab, awal tanpa akhir. Sekadar catatan dari langit untuk bumi. Karya-karya Hardiman Radjab, tidak perlu direka-terka, tidak perlu analisis dan mencoba melakukan hal itu, peta kreatifnya tidak akan ditemukan.

Karya seni rupa trimatra, koper, Hardiman Radjab, realitas sehari-hari, dari peristiwa sekitar tidak jauh juga dari hidup ini, menggunakan transisi benda-benda dikenal oleh umum. Koper. Kloset. Telepon, dan benda-benda bekas apapun, memiliki nilai dan makna baginya, termasuk mobil Fiat kesayangan tahun 1948, milik keluarga, tempo dulu.

Hardiman, tidak sedang berseni-seni sekadar eksentrik-isme, seakan mode on lifestyle agar terlihat indie dan gagah meski tetap terasa hambar tanpa bumbu rasa tradisional ‘sok metal’, mengkritik kiri dan kanan, bergaya kurator hebat, nyatanya, kecut berhadapan dengan diri sendiri, tabu melihat perbedaan di tengah kekayaan, keberagaman kultur Indonesia Unit, nan indah tak terbantahkan.

Hardiman, tidak membangun karya di dalam tempurung emas. Dia hadir, ada, di tengah lingkungannya. Dia pernah menjabat ‘Rukun Tetangga alias Pak RT’, sederhana saja. Karya-karya Hardiman, hanya dari barang bekas, memiliki kisah sejarah di dalamnya. Kisah tentang apa saja, dari perjalanan hidup hingga keakhiran. Karena itu, berhentilah mencurigai kesenian secara berlebihan.

Keakhiran, mungkin loh, kehidupan lanjutan dari hidup kekinian, di siklus modernitas, kebanggaan para makhluk kontemporer luar angkasa, barangkali. Karya seni bukan soal modern dan kontemporer, atau klasik dan non-klasik, atau indie dan non-indie atau hot hamburger atau telur ceplok mata sapi. Seni, trans-informasi antar kultur. Ketepatan presisinya ada pada jiwa publiknya. Bukan pada analisis birokrasi akademis.

Istilah pembebasan ataupun kebebasan anu dan itu. Bukan semata-mata membabi buta seenak udelnya jingkrak-jingkrak, teriak-teriak melecehkan perangkat Lambang Negara. Teriak-teriak tanpa peduli sesama rakyat, sedang menuju kerja untuk kelangsungan hidup. Sungguh tidak perduli, tetap saja, jalanan dibikin macet akibat ulah jingkrak-jingkrak atas nama euforia (demokrasi impor) anu dan itu dan kebebasan membabi buta.

Kalau paham dengan benar, demokrasi, kan wajib tetap saling memberi nyaman bagi para pekerja, pelajar dan mahasiswa dan sesama kepentingan rakyat sehari-hari. Berilah contoh komunikasi publik dengan baik dan benar, menurut pelajaran moralnya, menurut buku moralnya, menurut sekolah moralnya. Yuk! Sama-sama belajar untuk Indonesia bagus. Belajar, tak pernah berhenti di satu terminal saja.

Hardiman Radjab, tidak sedang melakukan protes jingkrak-jingkrak, demi euforia anu dan itu atau kursi bersayap bidadari berharga dollar. Hardiman, hanya memberi pelajaran alternatif dari suatu perjalanan pelakon hidup sejak ia dilahirkan, 13 Juli 1960, hingga kini, menuju ruang-ruang keindahan lewat barang-barang bekasnya, menempuh jalan panjang tanpa batas waktu, tanpa sekat-sekat ruang estetik di ranah anasir-anasir tafsir kitab-kitab seni.

Pembebasan. Kebebasan ruang Hardiman ada di dalam karya-karya seni rupa kopernya, aplikatif, adaptif, menjelma dengan seksama, menitis permainan imaji akal sehat. Tidak sedikitpun menggurui lewat kelaziman teoritik dipaksakan seakan setara filosofis sekadar pencatatan sejarah seni dari itu ke itu saja, yak ellah. Mungkin, atau barangkali, sudah waktunya kini berani menjadi diri, berhenti mencari plagiat edentik sebagai sandaran ke-isme-an seni anu.

Lupa, bahwa tanpa makanan cepat saji, tetap bisa survive, hidup sehat dan bergizi dengan tempe dan tahu, rebusan lalapan, sambal tomat, toge goreng, bubur kacang ijo dan buah-buahan khatulistiwa, kan Indonesia Kaya, iya kan. Jangan kesasar, mau ke Pasar Baru, loh kok, muncul di tengah benua tanpa peta. Seakan aktor panggung mencari dirinya di antara layar-layar, tapi, tak merasakan ruh menggerakkan tubuhnya.

Kesadaran pada ruh dan badan bukan semata mengandalkan intelegensi (otak) atau sebaliknya. Mentang-mentang intelegensi penguasa kontrol lalu bisa bertindak semena-mena. Apa terjadi? Bila intelegensi tanpa wadah kepala, kuping, mata, hidung, mulut dan kelengkapan anggota badan. Pasti badan dan intelegensi error di tempatnya masing-masing. Tak menemukan ruang persinggahan, kesatuan fisik tempat ruhnya. Kemaraulah pemeranan.

Maka pertunjukan keindahan seni, di ranah pendramaan permainan karakter peranan, mungkin, tak akan bertemu jarak antara (blocking). Wah-wah, kalau tak menemukan blocking, barangkali sama dengan kehilangan stage, mungkin, seorang pemain hanya sekadar menghafal teks atau koreografi, menjalankan perintah kata-kata, terperosok di kubangan pemain atas perintah, kehilangan makna di sumber peranan.

Stage, akan kehilangan aroma peristiwa panggung. “Curtain Call” tak pernah muncul, sebagai inti dari awalnya. Pentas sekadar bunga imitasi penyutradaraan ‘self portrait’ di cakrawala.., masa bodoh dengan “Curtain Call”, toh cuma membungkuk saja, gawat jika begitu. Sistem tata laku bukan seperti lakon juragan tanah, pemilik lahan keaktoran. Disfungsi dramatik macam itu membuat pentas seni kehilangan kecantikan universal.

Tak terbayangkan jika kepala terpisah dari batas leher dan badan. Apakah seorang pemain panggung dapat menemukan “Curtain Call”. Ruhnya telah pergi, akibat badannya porak-poranda. Apakah pemain itu bisa memainkan peranannya? Apakah kerusakan pemisahan kepala dan badan, itu, takdir peranan? Apakah hal itu akibat kealpaan ruh di badan, mungkin dan barangkali? Pertanyaan kembali kegawang.

Pameran-pameran Hardiman Radjab, salah satunya bertajuk “Curtain Call’. Siapa pencipta, menggerakkan Hardiman, hingga mampu membuat karya beragam itu. Jawaban ada pada mungkin dan barangkali, dia menyadari kontrol pengadegan. Barang-barang bekas menjadi ekspresi, scene by scene, setiap kisah di dalam dan di luar diri, kesatuan ruh di badan dan intelegensi, tak sekadar empirik, plagiat, pemuja kemalasan pencarian peranan, inheren.

Ketika “Curtain Call”, stage hanya melihat para pemain gembira karena “end off the scene”, bukan sebagai “end off too the next scene”, adegan tak pernah selesai. Kisah-kisah tak terbatas di skenario, tapal batas penyutradaraan, penulisnya. The scene, cerita di kisah-kisah, bukan, semata selesai setelah “Curtain Call”, sekadar pentas, memainkan peranan pendramaan, bagai di kejar-kejar proyek kasih tak sampai, berakhir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hardiman, terus membawa bola, kontrol dan fokus. Di rasa syukur senantiasa. Barangkali loh. Tanya pada beliau deh. Bagaimana memainkan harmoni nada-nada violin para malaikat putih di karyanya, menitiskan tetes embun tatanan karya. Tanpa panggung imatasi pola-politik adigang-adigung, seakan paradigma, slogan asal penonton senang, sekadar pentas kritik kontra indikasi bermain dalam kolam ikan hias.

Sebuah pentas, tampaknya, sejak awalnya hingga menuju “Curtain Call”, ke akhiran, menuju ke awal mulanya, Hardiman Radjab, konsisten, tak ada jarak dengan tradisi kearifan lokal, kesetaraan, keberagaman di dalam esensi kultur Indonesia Unit. “Curtain Call”, justru, berlanjut di inti-perilaku, perwatakan, hidup berkelanjutan, barangkali, setelah ke akhiran sekali pun.

Hardiman Radjab, telah menyatakan pada suatu kali di pameran karya seni rupa bertajuk “Curtain Call” di Taman Ismail Marzuki. Hingga kini Hardiman Radjab, tetap sebagai pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), setia pada almamater tanpa pamrih, tetap bersahaja dan tetap anti korupsi.

Salam Indonesia Unit. Rumah bagi kebijaksanaan, kerja, bergotong-royong. Salaman.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER