Purwakarta, CNN Indonesia -- Bale Indung Rahayu baru saja dibuka ketika saya berkunjung pada Sabtu pagi, 9 Juli 2017. Belum ada satu pun pengunjung di dalam museum yang belum diresmikan itu. Setelah selesai mengisi daftar pengunjung, hadir rombongan dari Bekasi yang menggunakan satu bus. Museum itu berdiri gagah di Jalan R.E. Martadinata atau yang lebih dikenal dengan Jalan Tengah, Purwakarta, Jawa Barat.
Memang, Bale Indung Rahayu sudah bisa dinikmati masyarakat umum secara gratis meski belum diresmikan. “Buka Senin sampai Jumat, pukul 09.00 sampai 15.30 WIB. Sabtu Minggu buka sesekali, tapi buat tamu pentingnya Bapak (Dedi Mulyadi) aja,” ucap Sahdan Mulya Nugraha, salah satu pemandu. Ia menambahkan, untuk masyarakat umum yang ingin berkunjung pada Sabtu Minggu, harus konfirmasi dulu ke Dinas Kebudayaan Pariwisata Purwakarta.
Museum yang memiliki arti nama Tempat Kemuliaan Ibu itu memiliki beberapa ruangan. Mulanya, saya disuguhi lorong yang menggambarkan proses sembilan bulan kehamilan. Gambaran posisi janin berusia satu hingga sembilan bulan tertempel di sisi kiri lorong. Istilah dalam bahasa Sunda melengkapi gambar-gambar tersebut. Salah satunya, istilah “sujud mohon ijin ka buana (bumi)” untuk janin berumur sembilan bulan.
“Lorong dibuat semakin menyempit untuk menggambarkan suasana kita dulu dalam rahim ibu. Semakin lama, semakin bertambah bulan, semakin besar, dan semakin sempit dalam rahim,” kata Sahdan. Atap lorong memang semakin rendah hingga pengunjung harus menundukkan kepalanya. Lagu Sunda berjudul Indung diputar secara berulang, suara biduanita mengiringi perjalanan saya.
Selesai melewati lorong, saya memasuki ruangan dengan atap yang tinggi. Suara tangisan bayi terdengar. Kata pemandu, itu untuk mengibaratkan bayi yang baru lahir ke dunia. Di ruang tersebut, ada display Istilah Adat Waktu Melahirkan Bayi yang ditempel di tembok. Display itu berlatar belakang warna hitam dengan tulisan berwarna putih, dilengkapi ilustrasi seorang ibu yang sedang mengandung.
Istilah yang tercantum di antaranya kanjut kundang, mempet baju, paraji, ngajuru – nyawa ngan kari sajuru deui, ngaruang-ruang, hayu geuwat tuturkeun bapa!, digebrag, dan lainnya. Setiap istilah diberi penjelasan dalam bahasa Indonesia, seperti ngaruang-ruang, yaitu istilah untuk kejadian yang dirasakan orang yang mengandung bila sudah tiba saatnya melahirkan. Ia merasakan mulas yang disertai rasa sakit, kemudian dipanggil indung-beurang atau paraji (bidan).
Di seberangnya terpampang display Upacara 7 Bulanan Kehamilan yang disertai penjelasan dan gambar tentang persyaratan, persediaan, juga tanggal upacara tujuh bulanan. Salah satu persyaratan yang harus ada adalah belut. Dalam penjelasannya, hewan belut yang disediakan harus ada tujuh ekor, namun satu pun tidak masalah. Belut menjadi simbol harapan agar proses bersalin lancar seperti hewan tersebut yang keluar dari lubangnya. Selain itu, bayi yang lahir diharapkan memiliki sifat bijak dan mempunyai banyak akal seperti belut yang licin.
Museum itu menghabiskan lahan sekitar 600 meter persegi, dulunya merupakan Gedung PKK dan gedung serba guna. “Jadi (dulu) di sini itu aula, biasanya dipakai buat rapat, nikahan. Lantai atas masih Gedung PKK, aula serba gunanya disulap menjadi museum,” terang pemandu berbaju batik. Semua tembok bagian dalam museum dicat warna hitam.
11 April 2017 lalu, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menggelar acara syukuran ulang tahunnya di pelataran museum. Sejak itu, museum mulai menerima kunjungan dari tamu-tamu khusus, salah satunya Ketua MPR Zulkifli Hasan. Untuk masyarakat umum, baru dimulai bulan lalu. Menurut pemandu, museum belum diresmikan karena masih ada renovasi dan masih ada konten yang belum masuk. Proses pembangunan dimulai sejak akhir tahun 2016.
“Awalnya, Bapak (Dedi Mulyadi) pengennya bikin surprise. Sebelum komplit dan sempurna, enggak boleh ada pengunjung dulu tadinya. Jadi, kami menerima instansi-instansi dulu. Berhubung kemarin pas libur lebaran pengunjung membeludak ke Purwakarta, kata Bapak enggak apa-apa masukin aja,” ujar pemandu yang juga memakai ikat kepala Sunda itu.
Selanjutnya, saya memasuki lorong lagi. Lorong kali ini bernuansa cerah, memiliki display berlatar belakang warna merah dan krem di sisi kiri. Display itu menjelaskan Masa Setelah Lahiran. Bagian merah menampilkan ilustrasi bayi yang sedang tengkurap, duduk, merangkak, dan berdiri. Di bawahnya, bagian krem, ada rangkaian kata berwarna merah dan hitam yang berisi penjelasan berbagai istilah pertumbuhan bayi, disertai ilustrasi bayi dan ibunya.
Selain istilah, nyanyian-nyanyian Sunda yang dipakai Ibu untuk menghibur bayinya pun dicantumkan. Misalnya, ketika umur sembilan bulan, bayi dapat ngorongdang (merangkak) dan duduk. Ibunya mengajak bermain ucang angge sambil mendudukkan anaknya di kakinya yang menggantung, kedua tangan anaknya dipegang sambil ibunya menyanyi “ucang-ucang angge, mulung muncang ka paranje”.
Lalu, saya memasuki sebuah ruang besar yang nuansanya lebih gelap. Atapnya dihiasi lampu-lampu kecil bagaikan bintang, tembok bagian atas dihiasi ilustrasi hutan. Ada dua buah leuit (lumbung padi) yang saling berhadapan namun berbeda ukuran. Lisung, tempat menumbuk padi menjadi beras ada di dekat leuit yang berukuran kecil (leuit anak).
Di antara kedua leuit, menghampar arena permainan tradisional yang dialasi rumput sintetis. Berbagai permainan anak dapat dicoba oleh pengunjung, seperti dam-daman, éngklé, dan congklak. Selain itu, ada pula lukisan yang menunjukkan berbagai permainan anak. Di atasnya, berjejer contoh berbagai bentuk kujang, senjata khas Sunda.
“Catnya warna hitam karena menggambarkan malam hari saat terjadinya bulan purnama. Disebutnya ngabungbang, jadi orang tuanya bekerja menumbuk padi, anak-anaknya bermain di lapangan,” ujar seorang lelaki yang menghampiri saya. Ia adalah Yayan Maulana Malik, resepsionis museum.
Selain leuit, di ruang itu terlihat berbagai display tentang budaya cocok tanam masyarakat Sunda. Seperti Pranata Mangsa Sunda dan Perkakas Ladang Tradisional. Ada pula miniatur patung yang menceritakan mitembeyan. “Mitembeyan itu masa di mana habis panen dan memasukkan hasil panennya ke leuit indung (leuit yang berukuran besar),” kata Yayan yang juga berbaju batik saat itu.
Tidak hanya cocok tanam, berbagai konsep dan filosofi hidup manusia Sunda pun dapat kita baca. Seperti Konsep Tritangu dan Konsep Trias Politika Sunda yang terdiri dari silih asah, silih asih, silih asuh.
Sahdan bercerita, sudah banyak masyarakat yang berkunjung, termasuk dari luar kota. “Libur lebaran kemarin seharinya bisa sampai 200 pengunjung atau lebih. Malah hari Sabtu bisa sampai 500. Soalnya hari Sabtu kita nerima tamu yang emang sengaja ke Purwakarta buat nonton air mancur. Jadi sebelum nonton air mancur, mereka pada ke sini dulu buat ngabisin waktunya.”
Bale Indung Rahayu sementara dibawahi oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata. Tidak seperti Bale Diorama dan Bale Panyawangan yang dibawahi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan. Sahdan menjelaskan, hal itu karena konten-konten di Bale Diorama dan Bale Panyawangan memang milik Dinas Kearsipan. Sementara konsep serta konten yang ada di Bale Indung Rahayu memang sengaja dibuat. Semua ide berasal dari Dedi Mulyadi, lalu direalisasikan oleh konsultan dari Bandung.
Meninggalkan ruangan besar itu, saya kemudian merambah ruangan yang menggambarkan suasana hutan liar. Terdengar suara binatang buas juga gemericik air. Di ruangan itu, ada batu besar yang ditemani gambar hutan, menjelmakan tempat untuk bertapa. Dalam penjelasannya, ruang itu dibuat untuk menggambarkan kabuyutan, yaitu daerah terpencil di perbukitan yang tidak boleh sembarang orang memasukinya.
Saya kemudian berpindah ke ruang berikutnya. Di ruang itu ada lukisan dan miniatur berbagai bentuk rumah adat Sunda, begitu pun gambar pakaian adat Sunda. Alat-alat musik tradisional Sunda pun dipajang. Di salah satu sudut ruangan, ada layar digital yang dapat dioperasikan oleh pengunjung. Layar itu menyajikan informasi alat musik tradisional Sunda secara audio visual.
Terakhir, ada display peralatan dapur tradisional seperti dulang kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran. Ada pula display contoh makanan tradisional Sunda berisi penjelasan, cara pembuatan, dan bahan-bahan yang diperlukan. Beberapa yang ditampilkan di antaranya pencok leunca, awug, colenak, dan burayot.
Museum itu awalnya diberi nama Museum Ki Sunda, namun pada akhirnya diberi nama Bale Indung Rahayu karena terinspirasi dari ibunya Bupati Purwakarta itu. “Saking cintanya Pak Dedi sama ibu. Museum ini juga menjelaskan kebudayaan manusia Sunda, dari mulai lahir, beranjak dewasa, sampai meninggal. Semua itu gak lepas dari kasih sayang seorang ibu,” kata Sahdan.
Ia juga mengatakan, selain merupakan persembahan Dedi Mulyadi untuk ibunya, Bale Indung Rahayu berupaya mengingatkan agar manusia tidak sekedar hidup tanpa meninggalkan jejak di dunia. Namun, menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar tanpa melupakan asal-usulnya. Hal itu digambarkan dengan display Konsep Kosong di ruang terakhir.
Seorang pengunjung, Nur Iman Ekasaputra, mengaku terkesan dengan Bale Indung Rahayu. “Berkesan karena menceritakan bagaimana kehidupan seseorang ketika masih dalam kandungan sampai akhir hayat,” ucap Iman. “Penuh dengan nilai artistik dan sejarah, pelayanannya juga ramah,” tambahnya.
Di penghujung terdapat kutipan, “Nilai-nilai budaya akan timbul kembali menjadi jati diri manusia Sunda apabila ia menyadari siapa dirinya, siapa leluhurnya, di mana kita berada, dan untuk apa kita hidup yang sesungguhnya”.
(ded/ded)