Bu Guru Yonita: Ubah Wajah Sains Agar tak Jadi Momok Siswa

CNN Indonesia
Jumat, 28 Jul 2017 13:14 WIB
Ibu guru muda ini berhasil mengubah wajah sains yang selama ini jadi momok, menjadi mata pelajaran yang disukai murid-murid. Bagaimana caranya?
Ibu Guru Yonita Tyas Lokita, guru di SMA Plus Pembangunan Jaya yang meraih predikat guru inspiratif di ajang L’Oreal Girls in Science 2017. (CNN Indonesia/Deddy S)
Jakarta, CNN Indonesia -- Yonita Tyas Lokita. Tiba-tiba saja namanya disebut di tengah perhelatan L’Oreal Science Fair yang diadakan di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, beberapa hari lalu. Sebuah penghargaan sudah menantinya.

Sosok yang lulus dari jurusan pendidikan kimia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat pada 2013 ini didapuk sebagai guru inspiratif oleh para peserta L’Oreal Girls in Science 2017.

Rupanya, sang guru, kata murid-muridnya di SMA Plus Pembangunan Jaya, adalah guru yang dekat dengan mereka. Dia juga bisa mengajar mata pelajaran sains dengan menyenangkan. Tak heran, kalau kemudian tiga muridnya meraih juara pertama kompetisi itu.

CNN Student pun mencoba mencari tahu, apa resep Bu Yo, begitu ia akrab dipanggil, sehingga membuat sains jadi pelajaran yang menyenangkan. “Saya membawa sains ke konteks kehidupan sehari-hari,” tuturnya cepat. Bagaimana konkretnya? Simak wawancara kami dengan alumni SMA Negeri 1 Ciputat ini:
 
Sains masih jadi momok banyak siswa sekolah, pendapat Ibu?
Memang masih banyak yang menganggap sains adalah momok, mata pelajaran penuh dengan hitungan dan hafalan. Saya sudah menggeser paradigma itu di sekolah saya, untuk menjadikan sains itu ada di sekitar mereka. Jadi dimulai dari apa yang mereka lihat, di sekitar mereka, itu semua sains. Membuat mereka lebih dekat dengan sains.

Dari mana ide seperti itu datang?
Latar belakang saya dari pendidikan kimia di UIN Jakarta. Ketika mengajar, di kampus diajari bagaimana mengajar di kelas. Tapi ketika di lapangan bertemu dengan anak yang usianya dengan saya tidak begitu jauh, saya harus memikirkan bagaimana supaya saya masuk ke mereka. Kalau mengajar dengan cara guru-guru saya dulu di sekolah, akan susah anak-anak itu belajar. Jadi saya cari ide bagaimana agar mereka menikmati pelajaran saya.

Apa contoh konkretnya bu?
Misalnya ketika saya mengajari soal pH, guru dulu kan memberikan hitungan. Saya beri contoh dengan membawa jeruk atau apapun di sekitar mereka, untuk dites, oh ini asam ini basa. Konteksnya sehari-hari.

Apa sih pekerjaan rumah kita supaya anak-anak sekolah menyukai sains?
PR-nya adalah menggeser paradigma. Jadi, selama ini guru hanya menonjolkan kalau sains itu menghitung. Bagaimana caranya menggeser itu, mengevaluasi yang biasanya menghitung dengan cara praktik, atau dengan cara project.

Apakah guru-guru sekarang sudah mendukung cara-cara yang ibu kerjakan?
Guru-guru mendukung sebetulnya, dengan K-13 (kurikulum pendidikan 2013) juga karena banyak praktik dan project-project. Tapi belum banyak diaplikasikan di beberapa sekolah karena belum semua K-13 setahu saya.

Tapi mengapa guru masih ada yang belum berubah?
Itu seperti doktrin dari dulu, bahwa sains harus begitu. Di era yang baru dengan K-13, guru-guru yang cetakan baru, mungkin akan bisa menggeser paradigma itu. Butuh refresh di generasi guru angkatan saya.

Pendapat Bu Guru soal sains dan perempuan. Mengapa masih ada yang menganggap perempuan terpinggirkan di dunia sains?
Perempuan itu yang saya perhatikan, punya potensi banyak menjadikan sains berkembang. Karena perempuan itu dekat dengan sains, karena dia perasa, dia pemerhati, perempuan punya kans untuk jadi saintis yang besar. Karena bagian dari sains itu adalah perasa dan memperhatikan sekitar. Saya lihat di Indonesia sekarang ini sudah bergeser, sudah banyak peneliti perempuan.

Apa yang harus dilakukan kaum perempuan?
Yang harus dilakukan adalah mau maju. Terkadang mereka merasa lemah, merasa enggak bisa. Keinginan dari dalam dia harus ada untuk maju. Jangan merasa under estimate dari diri sendiri. Perasaan under estimate itu mungkin muncul karena kultur yang menganggap laki-laki lebih tinggi. Perempuan hanya di rumah, memasak, ibu rumah tangga. Padahal meski jadi ibu rumah tangga, perempuan bisa mengembangkan ilmunya.

Adakah pengaruh dari keluarga?
Ada pengaruhnya. Keluarga saya dosen dan guru, jadi kecil sudah diajarkan ayah untuk berdiskusi jadi tidak ditekan. Diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat.

Btw, kenapa ibu ingin jadi guru?
Karena saya suka. Sejak dari SMA saya biasa jadi tutor teman-teman saya. Sampai kuliah suka jadi guru karena saya merasa kalau mengajari orang lain itu ilmu saya bertambah. Selain itu guru, walau tidak begitu terlihat, pahalanya besar. Karena mengabdi. 

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER