Jakarta, CNN Indonesia -- Apa yang terlintas di pikiran kamu ketika mendengar kata ‘Glodok’? Pastinya koko dan enci-enci yang berjualan elektronik. Iya, kawasan Glodok di Jakarta Barat memang sudah dikenal masyarakat luas sebagai kawasan penjualan elektronik dan sejak zaman Hindia-Belanda kawasan ini merupakan kawasan Pecinan terbesar di Batavia.
Nah karena Glodok identik dengan warga Tionghoa yang berjualan di sana, teman kita Felicia Natalia Kurniadi dan Fiona Natania Kurniadi dari SMA Tarsius 1, Jakarta, tertarik untuk melakukan penelitian yang terkait dengan kultur masyarakat Tionghoa.
Kalau kita kembali ke masa lalu, etnis Tionghoa memang datang ke nusantara untuk berdagang. Profesi mereka sendiri di negeri asalnya juga pedagang. Lalu ketika sampai di Indonesia mereka tak memiliki tanah dan modal lain selain keahlian sebagai pengrajin.
 Felicia Natalia Kurniadi dan Fiona Natania Kurniadi dari SMA Tarsius 1, Jakarta. (Foto: Fitri Chaeroni/CNN Indonesia) |
Nah selain membuat kerajinan orang Tionghoa juga memperdagangkannya. Kondisi dan situasi juga yang mendorong mereka untuk berdagang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pada masa orde baru, etnis Tionghoa juga dibatasi ruang kerjanya. Mereka hanya boleh bekerja di bidang perekonomian. Jadi tak heran jika kini warga Tionghoa memang sangat identik dengan berdagang.
Fiona yang juga keturunan Tionghoa bercerita, sejak kecil anak-anak Tionghoa sudah diajari nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, dan keramahan pada orang lain. Nilai-nilai itu dapat digunakan dalam perdagangan.
Mereka juga terus mewariskan usahanya kepada para ahli waris. Itu yang membuat bisnis orang Tionghoa tidak ada habisnya. Sejak kecil ada yang sudah dikenalkan dan diajak berjualan. Ketika anak mereka dinilai sudah cukup mampu berdagang, maka para klien dari orangtuanya akan mulai dialihkan ke usaha anaknya. Anak akan diberi kepercayaan untuk mengelola usaha.
Meskipun tidak diajarkan atau diajak berjualan secara langsung, Fiona juga bercerita bahwa ketertarikan anak-anak untuk berdagang muncul secara alami, karena mereka sudah terbiasa melihat orangtuanya yang berdagang.
Dalam berdagang etnis Tionghoa juga memiliki filosofi. Banyak filosofi yang dipakai, salah satu yang banyak dipakai adalah prinsip “Lebih baik menjadi paruh ayam, daripada menjadi ekor sapi”. Itu artinya orang Tionghoa lebih baik menjadi kepala di sebuah toko kecil, daripada menjadi karyawan di toko besar.
Penelitian Felicia dan Fiona yang berjudul “Pewarisan Usaha pada Generasi Masarakat Tionghoa di Glodok” ini mengantarkan mereka menjadi juara 2 Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan oleh LIPI pada 26-27 Oktober 2016 lalu. Mereka menjadi pemenang di kategori IPSK atau Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan.
(ded/ded)