Jakarta, CNN Indonesia -- Aku cuma debu, mudah ditangkap angin dihembus badai. Aku cuma orang kecil yang kagum pada negeriku-Indonesia, padamu aku berbakti negeriku, pemuda dan para pahlawannya salam cinta adik-adikku dan Kakak-kakak di manapun berada.
Sebuah kekaguman senantiasa ada di angkasa nurani bening. Kagumku pada para pemuda itu membuat pernyataan, menjadi “Soempah Pemoeda” inti dasar rumusan pergerakan kebangsaan menuju Kemerdekaan Indonesia, pada waktu jauh kemudian melahirkan asas esensial Kenegaraan-Pancasila, merangkum kebinekaan kultural-Nusantara.
Tak ada kata lain lebih tepat, indah dan mengagumkan untuk para pemuda itu, setia senantiasa pada Tanah Airnya. Sebuah kepastian tak sekadar berani berhadapan dengan kekuatan “neo-kolonial”, kebangkitan para “neo-bangsawan” ketika itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pemuda itu jelas “Kelas Mental dan Nuraninya” tak sekadar berpolitik asal bunyi demi menuju cita-cita kecil “Yang Penting Proyek Bergincu Duduk Manis”, akhirnya terpuruk pada kenistaan koruptif menjadi slogan besar di baju demokrasi kini.
Tak ada kata paling tepat untuk memuji para pejuang pencentus “Soempah Pemoeda”, itulah keaslian ejaannya, tak luntur hingga kini, warisan bagi pelajar ke generasi berjenjang kelak, bahwa ada sekumpulan pemuda tak memiliki tawar-menawar dengan neo-kolonial. Karena:
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Pada Kongres Pemuda II. Mendeklarasikan mengumandang "Soempah Pemoeda" di Jakarta, 27-28 Oktober 1928 (Batavia saat itu). Ditetapkan mutlak, komitmen nurani, menegaskan adanya "Tanah Air Indonesia", "Bangsa Indonesia", "Bahasa Indonesia" Hal itu adalah keputusan Kebudayaan Kebangsaan, bukan keputusan politik yang hanya bagian kecil dari keilmuan besar “Kebudayaan Indonesia” berkesinambungan pada kini kokohnya Indonesia.
“Soempah Pemoeda”, satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mengkristal pada terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia-NKRI.
Lalu pada esai bunga rampai sejarah pergerakan itu ada sosok dalam sunyi sejarah patut mengemuka. Adalah Moewardi (1907-1948). Salah satu pemuda pendiri “Ketua Barisan Pelopor 1945, di ranah peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945.
Adalah Moewardi. Seorang dokter THT, lulusan sekolah dokter STOVIA bergengsi pada zamannya, namun Moewardi tak punya gengsi, ia datangi orang sakit di kampung-kampung miskin, Jakarta tempo dulu, melebur menjadi rasa memiliki bangsanya, keahliannya untuk sesamanya.
Adalah Moewardi, seorang dokter pejuang bersahaja bersama gerakan rakyat yang di bentuknya melawan-PKI Gerakan Madiun. Lalu Moewardi hilang pada 13 September 1948. Siapa menculiknya, tak terungkap namun sejarah tahu di mana ia kini, ada di bumi pertiwi, semangatnya kesederhanaannya, keramahannya, penyembuh kaum miskin di Jakarta era 1930an
Adalah Moewardi, menyatukan yang terpisah dalam satu induk, dari tiga organisasi Pandu Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra dan Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie. Menjadi satu induk Kepanduan Bangsa Indonesia, pada 13 September 1930, kini menjadi Pramuka Indonesia.
Adalah sebuah kewajaran kedokterannya, kesederhanaannya, perduli pada Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kini abadi, menjadi nama jalan Dr. Muwardi di Grogol, Jakarta dan menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta.
Pada sunyi sejarah Dr. Moewardi ada dalam pelukan kenangan bangsanya. Jauh dari hingar-bingar berita korupsi di zaman kini, terus membumbung tinggi, semakin populer, akibat perilaku individual (kelompok) “Bukan Perilaku Negara”.
Meskipun tak ada lagi kini manusia koruptif yang sesumbar, berjanji akan menggantung lehernya di Monas jika satu kata saja terbukti korupsi.
Ada banyak kisah tentang Dr. Moewardi, ada keluarganya, toto tenterem sederhana, bersahaja, sama persis dengan Moewardi, di tulis oleh Fitri Chaeroni “Moewardi, Pejuang Yang Hilang Tanpa Jejak.” Bukan kisah korporasi bersubsidi sekadar mengharu biru peminta subsidi pemerintah, sebab malas, mengembangkan keilmuannya untuk mandiri.
Moewardi, sebuah hening dalam kisah ketetapan hati pada komitmen kebangsaan. Masih adakah kini? Ada di berjuta bening generasi Indonesia kini dan akan datang, pasti. Salam Indonesia Unit.
(ded/ded)