Jakarta, CNN Indonesia -- “Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir, di dalam hatiku
Sebagai prasasti terimakasihku 'ntuk pengabdianmu..”
Begitulah sepenggal lirik lagu berjudul Hymne Guru. Begitu indah dan santun untuk didengar. Ya.. hari ini tepatnya 25 November 2016, bangsa ini memperingati Hari Guru Nasional.
Peringatan Hari Guru Nasional ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi, baik di ranah individu, konstitusi hingga nasional. Hari Guru diperingati sebagai bentuk penghargaan terhadap guru dan bersamaan dengan perayaan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, sebelum itu kita perlu terlebih dahulu untuk mengkaji bagaimana peran seorang guru bagi bangsa dan bagaimana realisasi nyata dari peran guru di negara tercinta kita ini.
Salah satu tolak ukur untuk mengevaluasi peran seorang guru, kita bisa mengkajinya melalui definisi dari guru itu sendiri. Menurut Sudarwan Danim, guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Secara garis besar dapat ditarik intisari bahwa guru merupakan pendidik yang profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan hingga mengevaluasi peserta didik.
Sosok seorang guru adalah sebagai agen pembaharuan bagi peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan, hingga pertumbuhan dan perkembangan karakter serta kualitas diri. Ada poin penting yang dapat diambil melalui definisi tersebut, yakni guru sebagai pendidik.
Bila kita melihat pada realitas, saya memandang guru masih terjebak dalam menjalankan perannya sebatas sebagai pengajar. Artinya, guru baru menjalankan tugas di sekolah untuk menyampaikan materi pelajaran berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kewajiban guru seolah terhenti di saat guru sudah menunaikan pemberian materi di kelas. Padahal, bila melihat esensi dari kata “mendidik”, pengajaran materi di kelas saja belum cukup.
Ukuran keberhasilan pendidikan bagi seorang individu bukan sebatas pencapaian dari hasil akademik semata. Melainkan ada hal yang jauh lebih penting dan bermakna dari proses pendidikan itu sendiri. Hal tersebut yakni karakter yang dimiliki oleh peserta didik.
Bahkan karakter dalam pandangan saya merupakan hal yang utama dan esensial dari proses pendidikan. Akan menjadi hal yang sia-sia ketika seorang individu memiliki kecerdasan tinggi yang misalnya dibuktikan dengan nilai rapor tinggi atau peringkat yang baik namun tidak diiringi dengan sikap dan karakter yang baik. Pada masa depan, ia berpotensi melakukan kekeliruan dalam bertindak.
Kita bisa berkaca pada para koruptor negeri ini yang dengan buasnya merampas hak rakyat demi keserakahan akan hidup mereka yang sebenarnya sudah sejahtera secara ekonomi. Mereka yang melakukan praktek kejahatan kemanusiaan tersebut sebagian besar adalah orang-orang yang datang dari kalangan intelektual tinggi dan terpelajar.
Artinya, ada korelasi dengan kecerdasan intelektual hasil proses pendidikan itu. Sayangnya, kecerdasan intelektual yang mereka miliki tidak diikuti dengan kecerdasan emosional dalam hal ini adalah karakter baik dan luhur yang dimiliki setiap individu. Dengan begitu, ada semacam kegagalan seorang guru dalam mencetak generasi yang cerdas baik secara intelektual maupun emosional.
Mengapa saya mengaitkannya bobroknya karakter koruptor dengan peran seorang guru? Karena pada dasarnya guru memang berperan besar dalam mencetak generasi suatu bangsa.
Guru memiliki peranan yang lebih mendasar dibandingkan sosok dosen misalnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh peran guru yang sudah menyentuh individu sejak usia dini. Terhitung saat kita duduk di kelas 1 tingkat sekolah dasar (SD), biasanya usia 6 sampai 7 tahun seorang individu sudah mendapat sentuhan dari guru.
Guru memegang peranan sebagai orang tua pengganti di sekolah. Layaknya sosok orang tua, guru harus bisa menjalankan peran sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Dan tentunya hal ini akan sangat berdampak pada tumbuh kembangnya seorang anak. Melihat pada fakta bahwa sekolah yang secara umum menjadi tempat belajar dan bersosialisasi seorang individu hingga rentang waktu selama 12 tahun sedari SD hingga SMA, menjadi alasan kuat peran guru sebagai pencetak generasi bangsa.
Contoh hal sederhana yang berdampak pada mental dan karakter seorang anak di sekolah dapat dilihat dari bagaimana seorang guru memberikan contoh tindakan. Ketika saya duduk di bangku SD bahkan hingga tingkat sekolah menengah misalnya, saya sering menjumpai fenomena misalnya, sekolah kerap menggelar acara studi tur yang berupa perjalanan dengan tujuan edukasi di dalamnya, dengan tujuan tempat tertentu.
Biasanya para murid dibebankan dengan biaya akomodasi. Dan tak heran saat menyadarinya, biaya yang dikeluarkan lebih besar ketimbang saat kita memperhitungkan secara pribadi pengeluaran-pengeluaran apa saja yang dbutuhkan. Dan pada akhirnya para murid dan orang tua dengan sendirinya dapat berasumsi dan menyadari, bahwa kelebihan dari biaya akomodasi perjalanan yang kita bayarkan sekaligus bisa membantu untuk membayar akomodasi dari beberapa guru yang mengikuti studi tur tersebut.
Bukan bermaksud untuk berprasangka buruk. Namun, fenomena ini terutama di sekolah-sekolah di daerah memang kerap ditemui. Akhirnya, si murid yang menyadari merasa kecewa dengan tindakan gurunya dan dengan otomatis membangun semacam mental korupsi dalam dirinya. Itu hanya contoh kecil dari bagaimana tindakan seorang guru yang tidak melakukan pertimbangan secara jernih memengaruhi pola pikir dan karakter anak didiknya.
Selain itu, peran mendidik sebagai seorang pendidik harus guru tunjukan dengan nyata kepada muridnya. Guru sudah seharusnya tidak menilai murid hanya pada saat di kelas saja. Dalam hal ini, guru terutama sebagai wali kelas memiliki peranan ekslusif lainnya.
Guru perlu mengetahui bahkan memasuki sedikit sisi dari kehidupan pribadi muridnya. Artinya, guru perlu mengetahui latar belakang keluarga si murid, bagaimana kondisi ekonomi keluarga, kondisi keharmonisan keluarga hingga karakter atau sifat dasar muridnya tersebut. Hal ini akan menjadi semacam titik pijak bagi guru untuk memperlakukan muridnya yang sesuai dengan karakter masing-masing murid.
Dengan begitu, kita dapat lebih mudah untuk melakukan proses pembelajaran dan pendidikan itu sendiri, karena kita sudah memahami karakter murid kita. Setelah itu, komunikasi yang terjalin antara guru dan murid pun menjadi lebih nyaman dan tentunya akan berdampak dengan antusiasme murid dalam belajar di kelas karena melihat sosok guru yang memahaminya dan bisa memberikan teladan yang baik.
Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Guru Nasional ini saya sebagai mahasiswa yang pernah menjalani proses pendidikan sebagai seorang siswa sangat ingin memberikan pengingat. Betapa guru memiliki peranan yang sangat luar biasa besar dalam mencetak generasi bangsa di masa depan.
Untuk itu, sudah saatnya guru di Indonesia memperbaiki kompetensi dan kualifikasi diri baik secara kualitas kemampuan dan keahlian akademik lalu diikuti dengan kualitas guru sebagai sosok yang perlu ditiru dan diteladani. Pemerintah pun memiliki tugas untuk menjembatani dan melakukan pemerataan guru-guru yang berkualitas di Indonesia.
Semua anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang adil dan merata. Lewat pendidikan yang baik dan guru yang berkualitas maka di masa depan bangsa ini akan dipimpin oleh pemuda-pemuda yang cerdas dan berkarakter mulia.
(ded/ded)