Jakarta, CNN Indonesia -- Kalau melihat ada seseorang yang mendonasikan usia mudanya untuk mengabdi mengajar di daerah pelosok, apa kesanmu? Kalau Dori Gusman, dia langsung ikut juga terjun untuk melakukan hal yang sama.
“Bertemu dengan sosok pemuda yang inspiratif, luar biasa dan mau mendonasikan usia mudanya untuk mengabdi di pelosok Indonesia, jauh dari keramaian kota dan keterbatasan sarana prasarana adalah yang menjadi salah satu alasan mengapa saya ingin ikut dalam kerumunan positif tersebut,” kata Dori, kepada CNN Student, pekan lalu.
Dori Gusman adalah seorang pengajar muda di Indonesia Mengajar, yang pernah ditempatkan di pelosok Lebak, Banten. Asalnya sendiri dari Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Di tempat asalnya dia sudah berkecimpung di komunitas Riau Mengajar dan dari sinilah dia mengenal Indonesia Mengajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan peserta Jambore Nasional dan Lomba Tingkat Nasional Pramuka ini memiliki sederet prestasi saat bersekolah. Dia menjuarai lomba baca puisi dan cipta puisi. Dia juga penulis naskah terbaik di Festival Film Anak tingkat Nasional, dan pembuat film dokumenter terbaik.
Alumni Hubungan Internasional Universitas Riau ini sebelumnya sudah bekerja di PT Saipem Indonesia yang bergerak di bidang minyak dan energi. Tapi panggilan untuk mengabdi bagi anak-anak di pelosok sangat kuat di telinganya.
Pria kelahiran Medan, 24 Agustur 1992, ini mencoba dua kali sebelum akhirnya terpilih sebagai salah satu pengajar muda. Ia selalu berpedoman pada dua kalimat ajaib ini: “Keinginan adalah ibu jari dari segala kekecewaan” dan “Tuhan tidak pernah salah, Tuhan tidak pernah terburu-buru.”
Ia lulus pada seleksi Indonesia mengajar angkatan X. “Saya langsung sujud syukur ketika itu, dalam hati saya bergumam terimakasih ya Allah, kau memang tak pernah salah dan tak pernah terburu buru,” kata sosok yang aktif menulis di blog pribadinya sayadorigusman.wordpress.com.
Setelah mengikuti pelatihan intensif selama dua bulan, dia ditempatkan di desa dekat perkampungan Baduy, di SD Negeri 1 Sangiangjaya, Kampung Lebuh. Awalnya dia mengira daerah itu bukan pelosok, mengingat dekat dengan Jakarta.
Tapi segala perkiraannya runtuh. Dia harus menempuh jalan tak beraspal yang dikelilingi hutan, sawah, dan hewan ternak berlalu lalang. Dia jadi tak heran mengapa Indonesia Mengajar memetakan Lebak sebagai salah satu desa yang masuk dalam desain program.
“Hambatan tentu ada, selain budaya yang jauh berbeda, kebiasaan masyarakat dalam hal sanitasi. Tidak ada kamar mandi di rumah warga di desa, kalaupun ada biasanya hanya berupa bilik yang terbuat dari awi (bambu) yang dijalin rapi atau bangunan setengah permanen milik beberapa tokoh masyarakat,” ujarnya.
Kendala lainnya, anak-anak yang diajarnya ternyata susah berbahasa Indonesia karena bahasa sehari hari masyarakat adalah Sunda Wiwitan. Selain itu juga, pola pikir orangtua yang beranggapan pendidikan itu kurang penting, sehingga banyak anak dan para orangtua di sana hanya lulusan SD, bahkan tidak lulus SD atau ada yang sama sekali tidak mengenyam dunia pendidikan.
Sebagai pengajar muda, Dori berharap rakyat di negara kepulauan yang rakyatnya tersebar di segala penjuru mendapatkan hak yang sama dalam hal pendidikan. Dia yakin negara ini akan menjadi negara hebat dengan semua potensi yang dimilikinya.
“Membayangkan mimpi itu sekali lagi saat menulis ini, membuat saya percaya bahwa kita sudah semakin dekat dengan hal tersebut,” kata pria yang bercita-cita menjadi presiden ini.
Dia mengajak pemuda-pemudi lainnya memberikan energi lebih di usia muda untuk berbuat dan menulis sebanyak yang mereka tahu. “Terkadang memilih jalan sunyi membuat kita sadar bahwa pada setiap diri kita memiliki hal luar biasa yang sebenarnya mampu menembus batas ketakutan dan merobohkan dinding ketidakpercayaan pada apa yang kita miliki,” ujarnya.
(ded/ded)