Jakarta, CNN Indonesia -- Dari deretan nama-nama dalam dunia pendidikan, tentu saja kita mengenal sosok Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang lebih dikenal dengan KI Hajar Dewantara. Sosok lengkap, figur seorang guru, sastrawan, jurnalis dan budayawan yang luar biasa. Pribadi yang menginspirasi setiap guru di republik ini.
Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya hanya karena ingin dekat dengan rakyat, mendirikan Taman Siswa, peletak dasar-dasar pendidikan nasional, dan kemudian dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Ki Hajar Dewantara tentu tidak pernah menginginkan gelar kehormatan Bapak Pendidikan Nasional, tidak mengharapkan penghormatan-penghormatan yang lain. Tetapi, karena jasanya yang tidak ternilai bagi Negara khususnya di dunia pendidikan, namanya senantiasa abadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ing Ngarsa Sungtulada (di depan memberi contoh yang baik), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan peluang), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dukungan), adalah ajaran Ki Hajar Dewantara yang mesti ada dalam karakter seorang guru. Guru yang selalu bersiap untuk menghadapi peserta didik dengan keteladanan sifat dan sikap, kreativitas tanpa batas, dan intelektualitas yang mumpuni. Karakter yang seperti itulah yang perlu dimiliki seorang guru. Bukan guru yang selalu merasa benar sendiri dan merasa hebat sehingga tak pernah mau meningkatkan kemampuan dan kompetensinya.
Sayangnya di Indonesia yang kita cintai ini, suara guru seperti senyap, ketika ada rencana perubahan kurikulum. Maka yang lebih dominan ditanyakan adalah para pakar, intelektual dan akademisi, kalaupun ada hanya beberapa guru saja yang dimintai pendapat.
Ganti kurikulum dengan beragam beban yang diberikan kepada guru. Tetapi guru sendiri tidak mendapatkan
upgrade pengetahuan dan nilai-nilai yang memang diinginkan oleh kurikulum baru. Sehingga banyak terjadi, ketidaksiapan, kecanggungan dalam pelaksanaan kurikulum baru, dan akhirnya guru, dianggap tidak kompeten dan tidak sesuai dengan harapan.
Bukankah salah satu hal penting dalam penerapan kurikulum 2013 yakni perubahan paradigma atau
mindset? Tanpa didahului dengan perubahan ini, maka ruh dalam kurikulum terbaru ini akan sama saja dengan kurikulum sebelum-sebelumnya.
Gambaran dalam cerita berikut ini adalah contoh betapa pentingnya arti dari sebuah
mindset: Konon, tomat kali pertama dibawa ke Eropa dari Amerika oleh para kolonalis (penjajah). Seorang ahli botani berkebangsaan Prancis mengidentifikasi tomat sebagai “buah persik serigala”. Beredar kabar bahwa barang siapa yang memakan tomat, akan kejang, dari mulutnya keluar busa, dan menyebabkan kematian.
Maka tomat hanya dijadikan tanaman hias di pekarangan mereka. Celakanya, radang gusi merupakan salah satu wabah penyakit berbahaya yang diidap keluarga kolonial. Wabah kekurangan vitamin C yang banyak terkandung dalam tomat. Obat radang gusi melimpah di pekarangan, tapi mereka mati karena paradigma yang keliru.
Sesat pikir itu baru berubah ketika beredar sebuah informasi baru. Bangsa Italia dan Spanyol mulai mengonsumsi tomat. Sejak itu tomat mulai menjadi buah paling populer karena khasiat kesehatan yang diberikan kepada manusia. Itulah kekuatan perubahan
mind map. (Saya kutip dari buku “Guru Gokil Murid Unyu” J. Sumardianta, 2013: Bentang).
Lalu bagaimana perubahan paradigma di kurikulum 2013? Paradigma yang kita gunakan yakni peserta didik menjadi pusat dari kegiatan pembelajaran (
student center). Apakah yang membedakan dari kurikulum sebelumnya? Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak boleh lagi menjadi raja kelas. Maksudnya yang dominan menentukan benar atau salah, hitam atau putih, dan sketsa lain sebagainya. Melainkan menjadi fasilitator.
Ketika masuk kelas, guru tidak lagi boleh berpikir bahwa materi yang akan diajarkan adalah segala-galanya. Sehingga kalau ada yang tidak mendengarkan, maka akan dicap bodoh. Sedikit berbeda berarti salah.
Tugas guru harus mengondisikan anak-anak didiknya untuk senantiasa mencari fenomena dari materi yang diajarkan. Lalu temuan-temuan itu didiskusikan. Tentu saja akan banyak fakta-fakta baru yang mungkin tidak diduga sebelumnya oleh sang guru. Komunikasi multi arah ini tentu saja membutuhkan guru yang levelnya
high class. Guru yang senantiasa belajar untuk meng-
upgrade ilmunya dengan kondisi kekinian. Sehingga permasalahan yang terjadi dalam kelas bisa diatasi dengan baik.
Guru hebat harus mampu mengubah paradigma dirinya menjadi guru yang bermental pengemudi, dan pendengar yang baik. Bukan bermental penumpang apa lagi tukang parkir. Karena masalah utama guru bukan lagi soal kesejahteraan, melainkan spirit dan keteladanan.
Banyak guru yang memiliki sertifikat pendidik. Kendati demikian, perubahan yang dialami oleh sebagian besar guru, nyaris baru sebatas bergeser dari guru yang kerjanya sepanjang hari ngomong di depan kelas, menjadi guru yang kerjanya mendemonstrasikan kewibawaan di hadapan murid.
Guru hebat adalah guru yang mampu menginspirasi muridnya. Ia sadar sepenuhnya punya satu mulut dan dua telinga. Itu sebabnya guru tipe ini selalu berusaha menjadi pendengar yang baik dan tidak obral bualan di kelas sepanjang waktu. Guru hebat sedikit memberi instruksi. Pusat kegiatan belajar-mengajar adalah murid, bukan guru.
Kurikulum diolah dan disajikan sesuai kebutuhan murid. Itulah sebabnya guru hebat selalu mampu mendidik muridnya menjadi manusia bermental juara. Jadi, tentu saja keberhasilan kurikulum 2013 akan sangat dipengaruhi oleh lahirnya guru-guru hebat yang mampu menginspirasi murid-muridnya untuk juga menjadi hebat.
Maka tantangan sesungguhnya bagi para guru adalah berlomba untuk menjadi guru hebat tersebut. Bukankah seperti yang kita tahu, pelajar sekarang memiliki tantangan berkaitan dengan biaya sekolah yang semakin membebani. Mereka juga menghadapi situasi sosial yang begitu kacau.
Runtuhnya nilai-nilai moral dari lingkungan yang begitu membingungkan. Ditambah lagi serbuan gadget dan program hiburan di televisi yang menjadi candu.
Siap atau tidak siap, guru harus terjaga dengan situasi ini. Mengemban misi yang lebih jauh dari proyek kurikulum yang terus berganti-ganti yakni menjaga peradaban. Sebagaimana makna aslinya dalam bahasa sanksekerta, guru berarti ‘pengusir kegelapan’ dalam diri murid-muridnya, kegelapan di sini berarti kebodohan dan kebodahan adalah racun yang mematikan.
Oleh karena itu, untuk menjadi guru hebat coba kita cermati kutipan lagu berikut “Ada benarnya nasehat orang orang suci/memberi itu terangkan hati/seperti matahari yang menyinari bumi”. Kata-kata tersebut adalah potongan nyanyian seorang Iwan Fals yang berjudul (Seperti Matahari).
Seperti yang kita ketahui, lagu-lagu yang diciptakan oleh Iwan Fals memang senantiasa menginspirasi pendengarnya. Jika direnungi lebih dalam, apa yang ditulis oleh Bang Iwan dalam lagu tersebut dapat diamini kebenarannya.
Lalu memberi seperti apa yang mampu terangkan hati? Tentu setiap yang mendengarkan akan memiliki tafsir sendiri akan lagu tersebut. Bagi seorang guru, yang setiap hari bergelut dengan waktu di sekolah, maka makna memberi yang menerangkan hati adalah memberikan ilmu yang terbaik bagi setiap peserta didik, serta tak henti-henti menginspirasi mereka untuk melakukan lompatan-lompatan intelektual dan hal-hal positif yang tak terbayangkan sebelumnya.
Berat memang, karena inspirasi bukanlah produk makanan cepat saji, sesuatu yang dengan mudah diberikan. Perlu proses, kesabaran dan keteladanan. Semoga di masa mendatang guru-guru Indonesia dapat menjadi matahari-matahari di tiap-tiap sudut kegelapan Negeri ini.
Semoga!
(ded/ded)