Mengkhawatirkan, Bahasa Daerah Makin Tergerus

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 14 Des 2016 14:33 WIB
Bahasa etnis sudah waktunya menjadi perhatian nasional karena keberadaannya yang kian tergerus oleh berbagai aspek.
Ilustrasi (CNN Indonesia/ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia sebagaimana dilaporkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), adalah negara dengan jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini yang bercokol di ujung peringkat dengan jumlah 800 bahasa etnis. Sekali lagi Indonesia amat kaya meski dilihat dari segi bahasa sekalipun.

Lalu pertanyaanya, mengapa membahas bahasa etnis yang jumlahnya 746 di Indonesia? Sepertinya bahasa etnis sudah harus menjadi perhatian nasional karena keberadaannya yang kian tergerus oleh berbagai aspek.

Kenapa harus jadi perhatian nasional? Tentu bangsa Indonesia yang kaya ini akan merugi jika kekayaanya dari waktu-kewaktu berkurang, tentu akan merugi jika bahasa etnis yang menurut catatan sejarah berperan akan terbentuknya bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kemudian hilang dari identitas bangsa yang kaya ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Sugiyono yang pernah menjabat menjadi Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional beberapa tahun silam meramalkan dari ratusan bahasa daerah atau bahasa etnis di Indonesia hanya akan tinggal 10 persen saja di penghujung abad ke 21, akibat hilangnya para penutur bahasa tersebut.

Pakar bahasa dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Dr. Kisyani Leksono memaparkan saat ini ada bahasa yang digunakan oleh beberapa suku terasing dan terancam punah. Seperti bahasa orang laut, Punan, Taijo, To Seko, Tugutil, Marobo, Bahaam, Arfak, Bauzi, Mek, Dani, Arso, Senggi, Asmat, Enggano, Mentawai, dan Sakai.

Menurut Kisyani, penyebab bisa hilangnya bahasa daerah di Indonesia, selain penuturnya yang hanya berada pada kisaran umur 50 hingga 70 tahun, adalah sikap negatif masyarakat Indonesia yang mengasosiasikan bahasa lain lebih maju dan modern.

Jangankan permasalahan bahasa suku terasing yang terancam punah, saya sebagai orang suku Minang yang hidup dan tumbuh dalam budayanya, paham betul bagaimana bahasa Minang sendiri tergerus dan hanyut bersama arus.

Sikap mengasosiasikan bahasa lain seperti bahasa Inggris dan bahasa “Jakarta” yang menjadi bahasa utama dalam sajian media khsusnya televisi, dianggap lebih keren dan sesuai kebutuhan zaman dan waktu.

Sehingga jika anda mendengar bahasa Minang yang dituturkan pemudanya saat ini akan lebih mudah dimengerti dan diartikan daripada bahasa asli Minang itu sendiri, karena banyak kosa kata yang berasal dari bahasa “Jakarta” tadi, diadopsi dalam bahasa pergaulan sehari-hari para pemuda Minang.

Pun begitu dengan sikap orang tua baru yang berasal dari Minang dan merantau ke Ibukota, akan dengan bangga mengajarkan bahasa “Jakarta” tersebut kepada anaknya, dan dengan bangga pula ketika pulang kampung menyatakan anaknya tidak bisa bahasa “kampung” bahasa Minang, sehingga menuntut siapapun, kakek, nenek sanak saudara harus menggunakan bahasa Jakarta tersebut jika ingin berbicara dengan anaknya.

Ia begitu bangga dengan modernitas anaknya yang tidak mengerti bahasa Minang, padahal sejatinya begitu malang anaknya kehilangan identitas sebagai seorang yang asli dan berasal dari Minang.

Seharusnya orangtua, yang menjadi sekolah pertama sang anak mempelajari bahasa, mempertahankan pengajaran bahasa daerah kepada anaknya demi menjaga identitas sang anak sebagai bagian dari salah satu dari sekian banyak suku di Nusantara ini.

Mengapa bahasa Indonesia yang telah bercampur dengan berbagai bahasa lain, yang berkembang di Ibukota atau saya sebut sebagai bahasa “Jakarta” tadi menjadi sesuatu yang dianggap lebih maju? Tak lain adalah pengaruh dari sikap jakartasentrisnya-para media yang mengasosiasikan segala produknya seperti, sinetron, iklan dan acara hiburan lainnya, menggunakan bahasa yang tercampur antara bahasa Indonesia, betawi, Inggris dan bahasa lainya.

Dianggap maju, karena bahasa tersebut digunakan oleh anak-anak muda yang katanya modern dan berprilaku sesuai zaman dalam produk hiburan media tadi.
Sikap latah, dan menjadikan produk media sebagai kiblat kehidupan adalah faktor yang akan terus menjadi pengerat yang menggerogoti sedikit demi sedikit identitas dan kekhasan bangsa ini. Bukan hanya dari segi bahasa, pengerat tersebut juga akan turut menggigit aspek kehidupan lainya, cara berprilaku, kearifan budaya, kearifan ketimuran bangsa ini dan aspek lainnya.

Bahasa daerah begitu penting eksistensi dan kelestariannya bagi bangsa yang begitu kaya Ini. Sebagaimana juga dikatakan oleh Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono bahwa, punahnya bahasa berarti hilangnya sebagian kebudayaan dan nilai serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hilangnya kemampuan bertutur dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu juga akan memengaruhi pengajaran membaca dan menulis.

Semoga kita makin menaruh atensi pada ketergerusan bahasa daerah yang turut menjadi unsur terbentuknya bahasa persatuan, yang menjadi pemersatu sebagaimana tertuang dalam sumpah pemuda. Bahwa bahasa Indonesia hidup dan dilatarbelakangi oleh bahasa-bahasa daerah. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER