Para Petani, Jangan Bakar Jeramimu

CNN Indonesia
Jumat, 09 Jun 2017 15:38 WIB
Hasil penelitian menunjukkan lahan pertanian sawah di Indonesia sudah banyak yang sakit berat. Tanahnya kurang subur karena perilaku pertanian yang 'sesat'.
Lahan pertanian kita banyak yang tak subur lagi karena perilaku pertanian yang kurang tepat. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Bandung, CNN Indonesia -- Sebuah lagu kanak-kanak sempat terbesit di pikiran saya. "Cangkul-cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung di kebun kita."

Lagu tersebut sudah tak asing didengar, namun bukan jagung yang ditanam dikebun, melainkan padi yang ditanam di lahan pesawahan. Banyaknya konsumen yang memerlukan beras dan bibit padi, namun kuantitas sangat sedikit. Kualitas pun sangat rendah.

Tak heran jika Indonesia sering mengimpor ke luar negeri salah satunya Vietnam. Miris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada dunia pertanian, biasanya hasil panen lebih sedikit daripada jerami. Ini salah satu penyebab sedikitnya kuantitas padi. Kebanyakan para petani langsung membakar jerami dengan alasan tidak mempunyai nilai fungsi.

“Petani membakar jerami karena ada penyakit dari pertanaman sebelumnya, karena petani sekarang langsung olah tanah tanam lagi, jadi penyakitnya akan pindah. Dulu nanam sekali langsung tumbuh lagi, ini yang menjadi permasalahan, maka itu langsung dibakar,” ujar Tualar Simarmata, dosen sekaligus akademisi pertanian, Universitas Padjadjaran (Unpad), saat diwawancarai di Gedung Ilmu Tanah, lantai dua, pertanian Unpad, Jatinangor, Sumedang, akhir bulan lalu. 

Laki-laki yang memiliki ketertarikan pada dunia pertanian ini membuat teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). IPAT-BO merupakan sistem produksi hemat bibit, air, pupuk anorganik, dengan menitik beratkan kekuatan biologis tanah, managemen budidaya, pemupukan, dan tata air secara terpadu dan terencana. Karena itu keberhasilan IPAT-BO tergantung pada perkembangan sistem perakaran dan keanekaragaman hayati dalam ekosistem tanah dan pasokan nutrisi berimbang.

"Jerami sebenarnya berkah dan bencana, kalau petani memanfaatkan jerami tersebut padahal bisa mengurangi 50% pupuk anorganik atau pupuk kimia," kata Tualar, lebih lanjut.

Tujuan teknologi IPAT-BO dirancang untuk meningkatkan produktivitas padi 200 sampai 300 persen. Dirancang juga sekaligus mengembalikan atau memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah pesawahan berbasis input lokal karena tanah-tanah di Indonesia sudah capek, lelah, dari zaman dulu tahun 60-an sampai sekarang tidak pernah "diapa-apakan". Artinya lebih banyak yang keluar daripada yang masuk.

“Dulu zaman nenek moyang kita, kalau panen hanya diambil gabahnya saja, batangnya disimpan, sebenarnya bahan organiknya berguna untuk menyuburkan tanah. Kalau dulu nanamnya bukan dua atau tiga kali setahun, tapi hanya satu kali setahun. Sekarang, asal ada bibit padi langsung nanam. Hasil penelitian, tanah kita kurang lebih untuk lahan sawah 70 persen sudah sakit berat. Nah untuk menanganinya harus menggunakan pupuk organik,” ucap Tualar, sambil membenarkan kaca matanya.

Ketika ditanya indikator seperti apa yang menunjukkan tanah dengan kualitas yang bagus? Ia memaparkan tanah yang bagus biasanya warna hitam. Hitamnya karena bahan organik, jadi bahan organik yang ideal itu tiga sampai lima persen. Kalau tanah di Indonesia sebagian besar sudah di bawah dua.

Pupuk organik dari aktivitas menanam padi adalah berbentuk jerami. “Jadi kalau kita ingin menyuburkan kembali lahan tanah, harus memanfaatkan kembali jeraminya, jangan dibakar. Petani sekarang, sudah menghasilkan padi dan pupuk organik, tapi pupuknya dibakar, baru membeli pupuk. Itu disebut teknologi aliran sesat. Sudah punya pupuk sendiri. Dibakar. Beli pupuk,” kata Tualar sambil tertawa.

Cara jerami agar menjadi pupuk yang bagus dalam waktu singkat, berdasarkan hasil riset, adalah dengan mengembangkan mikroba dekomposer, mikroba pengurai yang unggul yang mampu menekan penyakit tersebut, karena melawan mikroba harus menggunakan mikroba pula, hasil mikroba itu mengubah pupuk jerami yang cepat dan unggul.

Selain IPAT-BO ini hemat bibit, teknologi ini pun hemat air. Biasanya lahan sawah digenangi air habis-habisan, berbeda dengan IPAT-BO yang tidak boleh digenangi terlalu banyak air dan secara terus-menerus. Pemberian air ini dilakukan secara selang-seling, kadang diberi air dan tidak, sehingga sistem ini dapat menghasilkan dua sampat tiga kali lipat hasil panen.

Permasalahannya jika digenangi, dalam konteks ilmu berbasis ekosistem biologi tanah, bahwa tanah sesungguhnya adalah pabrik pupuk alami. Di dalam tanah terdapat makhluk hidup dari kecil sampai besar yang berkaitan satu sama lain. “Makhluk tersebut kan bernafas, jadi kalau digenangi maka pabriknya kita tutup, jadi tidak ada kotoran seperti cacing, pada mati semua. Makanya saya atur agar makhluk tersebut mendapat oksigen, sehingga banyak menghasilkan kotoran. Jika pabrik pupuknya sudah hidup, maka akan mengurangi pupuk anorganiknya,” ucap Tualar.

Penelitian ini sudah mulai berkembang pesat dari 2006, didukung Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) Dikti. Kemudian untuk percepatan diseminasi sosialisasi, sejak beberapa tahun terakhir khususnya 2016, memanfaatkan teknologi. Upaya agar teknologi tersebut diadopsi sejak 2016 diterapkan melalui sistem Pentahelix Diseminasi Berbasis Teknologi Informasi. Menggunakan rumus, A (Akademisi), B (Bisnis), G (Goverment) ,C (Comunitas), dan M (Media).

Upaya tersebut sangat ampuh sekali. Tualar menuturkan biaya sangat murah dan sangat efektif. Tidak perlu membuat aplikasi. Ia dari grup-grup berbagai petani punya link menggunakan media sosial. “Kita bentuk satu grup, kemudian ada pusat monitoringnya, ketika ada permasalahan langsung kita pecahkan,” tuturnya sambil menunjukan grup petani di gawainya yang sudah menerapkan sistem IPAT-BO.

Sampai saat ini sudah beberapa tempat, seperti 23 kabupaten di Sulawesi Selatan dan satu di Sulawesi Tengah tepatnya di Banggai, Cianjur, Ciamis, Sumedang, dan Sumatera sudah menerapkan sistem tersebut.

Tualar berharap, media selalu tanggap cepat dalam mempublikasi penelitiannya. “Bukan masalah teknologi barunya, kalau media kurang tanggap cepat dalam mempublikasikan teknologi baru ini maka akan sulit diterapkan, dari itu saya ingin melalui media semua petani di Indonesia mengetahui sistem ini, agar mereka dapat mengubah sistem bertani. Agar tidak rugi oleh pupuk anorganik yang malah merusak lahan mereka.”
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER