Susteran Sang Timur dan Pendidikan Anak Pedalaman Kalimantan

CNN Indonesia
Selasa, 10 Okt 2017 10:21 WIB
Para suster Sang Timur memiliki andil yang sangat besar bagi pelayanan gerejawi melalui pendidikan bagi masyarakat terlebih di pedalaman sekalipun.
Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi, Pr, saat makan bersama dengan para suster dari Susteran Sang Timur di Ketapang, Kalimantan. (UGC CNN Student/Floren Baya)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jumat 8 Oktober, merupakan hari yang penuh syukur bagi suster dari tarekat kanak-kanak Yesus (Konggregasi Susteran Sang Timur) atau Pauperis Infantis Jesu (PIJ), yang tidak terasa telah berkarya di Paroki St. Mikael Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat dalam kurun waktu seperempat abad (25 tahun/pesta perak).

Para suster Sang Timur memiliki andil yang sangat besar bagi pelayanan gerejawi melalui pendidikan bagi masyarakat terlebih di pedalaman sekalipun. Mereka mendirikan asrama bagi putri-putri yang ingin bersekolah di Ketapang. Hadirnya Asrama Susteran Sang Timur, menjadi rumah bagi putri-putri dari pedalaman yang ingin bersekolah di Ketapang.

Pesta perak kali ini diperingati meriah. Bapak Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi, Pr, hadir. Begitu juga hampir seribuan umat. Ini bukti nyata kegembiraan yang tidak terkira dalam karya susteran PIJ di Keuskupan Ketapang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Acara dimulai dengan misa dipimpin bapak Uskup Ketapang didampingi oleh Pastor paroki, Ignasius Made Sukartia, Pr., Alexander Joko Purwanto, Pr dan Harimurti, Pr. Pada acara pesta setengah abad karya Susteran Sang Timur berkarya di Simpang Dua sekaligus juga pelantikan prodiakon dan Dewan Paroki.

“Selanjutnya dilajutkan makan bersama dan acara bebas di gereja lama,” tutur Floren selaku pengurus dewan Paroki St. Mikael Simpang Dua.

Dalam kata sambutan Pesta Perak Susteran FIJ, Mgr. Pius berpesan: “Mensyukur hadirnya Allah di tengah umat melalui karya Suster Sang Timur. Prodiakon dan DPP hendaknya tidak menjadi seperti batu batu yang dibuang tukang bangunan, tetapi menjadi hendaknya menjadi batu penjuru.”
 
Mengenal Kongregasi Susteran Sang Timur

Revolusi industri yang terjadi pada abad 18 sangat dirasakan dampaknya bagi negara Jerman. Situasi negara Jerman waktu itu menyebabkan orang tua bekerja di pabrik selama 16 jam. Mereka harus bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Hal ini memberikan dampak negatif bagi anak-anak. Anak-anak tanpa asuhan dan didikan menjadi anak jalanan, suka mabuk-mabukan, nakal dan liar. Jika ada anak muda yang ditarik untuk ikut bekerja di pabrik, maka mereka akan bekerja selama 12 jam.

Keadaan inilah yang mencemaskan bagi Romo Andre dan rekan-rekannya yaitu Romo Yosef Istas, Romo W. Sartorius, Romo Yohan Tireodor Laurent, dan juga para awam pemudi, antara lain: Victor Monheim, Clara Fey, Fransiska Schervier, Anna von Lomnnessen, Paulin von Molinnckrodt, Helena, Louise Fey, Louise Vossen, Wilhelmina Istas.

Mereka mencoba mengumpulkan anak-anak itu, memandikan, memberikan pakaian dan anak-anak tersebut diberi pelajaran agama, membaca, menulis dan berhitung. Atas inisiatif Andreas Fey maka didirikan sekolah miskin pada tanggal 3 Februari 1837 di Venn.

Para pemudi itu bekerja keras agar dapat menampung dan melayani anak-anak miskin. Untuk menambah satu atau dua anak yang akan diasuh, para pemudi (Clara Fey dan kawan-kawan) bekerja keras merajut kaos kaki, pakaian bayi, perlengkapan bayi sampai jari jemari mereka terluka. Mereka berani dan rela hidup sangat sederhana supaya masih dapat menampung seorang anak miskin.

Setelah para pemudi tersebut melayani di sekolah, mereka pun melakukan kunjungan rumah, menanamkan kebiasaan Kristiani, melatih kebiasaan doa, mempersiapkan penerimaan sakramen-sakramen, serta mengajarkan pra karya dan keterampilan.

Untuk menjamin kelangsungan karya cinta kasih di antara anak-anak miskin dan terlantar maka Romo Laurent mendesak Romo Andreas Fey untuk mendirikan kongregasi. Dicarilah sebuah rumah untuk Clara Fey dan teman-temannya agar dapat hidup bersama hingga bertumbuh dan berkembanglah menjadi sebuah persekutuan religius. Pada tanggal 2 Februari 1844 di Konigstrasse, Clara Fey, Wilhelmina Istas, dan Leocadia Startz memulai hidup religius.
 
Petrus Kanisius ‘Pit’
Umat Paroki St. Mikael Simpang Dua, saat ini bekerja di Yayasan Palung
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER