Aing-Maneh dalam Undak-Usuk Basa Sunda

CNN Indonesia
Senin, 23 Okt 2017 15:09 WIB
Kata aing-maneh untuk pengganti kata aku-kamu kerap terdengar dalam perbincangan sehari-hari. Padahal seringkali tidak tepat. Mengapa?
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Bandung, CNN Indonesia -- “Pak Jokowi, benerin sekolah aing, dong!” ujar Kizea Putra Gunawan, siswa kelas 3 SD yang terpaksa belajar di teras sambil lesehan karena sekolahnya rusak berat. (tirto.id: 26-11-2016).

Kata “aing-maneh” untuk pengganti kata “aku-kamu” kerap terdengar dalam perbincangan sehari-hari di lingkungan sekolah, kampus, maupun lingkungan rumah di wilayah Jawa Barat. Padahal, lawan kata dari aing (aku) itu sia, sedangkan lawan kata dari maneh (kamu) itu adalah urang.

Penggunaan kata “aing-maneh” ini diikuti dengan kata lain dalam bahasa Indonesia, baik yang baku maupun tidak. Seperti pada contoh kutipan di atas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ironisnya, penggunaan kata “aing-maneh” yang diikuti bahasa Indonesia ini tidak hanya populer di kalangan orang Sunda. Mereka yang bukan orang Sunda, tetapi tinggal di wilayah Jawa Barat turut menggunakan “aing-maneh” dalam percakapannya.

Seperti “Aing kan udah bilang, maneh gak boleh gitu!” Ketika ditanya arti dari "aing-maneh" yang mereka hanya tau kalau kata tersebut berarti “aku-kamu”.

Bahasa Sunda, sama halnya seperti bahasa daerah lain yang memiliki tingkatan bahasa. Tingkatan bahasa yang kemudian disebut Undak-Usuk Basa Sunda ini mengategorikan tiga tingkatan bahasa yaitu basa Sunda kasar, basa Sunda loma (akrab), dan basa Sunda hormat/lemes (santun).

Terlepas dari problematika yang menyebut Undak-Usuk Basa merupakan kreasi penjajah (Belanda) yang membatasi kemurnian bahasa Sunda. Undak-Usuk Basa mengatur bagaimana cara berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan usia, pangkat dan jabatan, atau bahkan garis keturunan, dan sebagainya.

Mengacu pada Undak-Usuk Basa yang menjadi pedoman berbahasa Sunda saat ini (ada pula wilayah yang tidak menerapkan Undak-Usuk Basa, seperti suku Baduy yang tidak mengenal Undak-Usuk Basa dan cenderung menggunakan bahasa yang dalam Undak-Usuk Basa dianggap kasar untuk berkomunikasi sehari-hari), kata “aing-sia” termasuk dalam katagori basa Sunda kasar.

“Aing” sebagai kata ganti orang pertama yang berarti “aku” atau “saya” ini dianggap kasar dan tidak pantas diucapkan di hadapan siapapun, terutama orang tua. Basa Sunda kasar kerap dilontarkan ketika seseorang marah atau beradu mulut.

Alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan kata “aing” ialah “abdi” yang termasuk ke dalam bahasa Sunda lemes (santun) atau “urang” yang masih dalam kategori bahasa Sunda loma (akrab).

“Aing” sebagai kebanggaan diri
Kata “aing” seringkali digunakan untuk melambangkan kebanggaan diri. Hal ini tercermin dari penggunaan kata “Aing Bobotoh Persib”, “Aing Sunda”. Melalui kata-kata tersebut, “aing” digunakan sebagai penegas kebanggaan. Kata “aing” menegaskan kedirian, meneguhkan ego, yang pesan kebanggaannya terasa kental.

Pengajar Sastra Sunda di Universitas Padjajaran, Teddi Muhtadin, kepada Ahda Imran dari Pikiran Rakyat (7-2-2010), mengatakan: tak ada kata ganti orang pertama (pronomina persona) yang tepat digunakan untuk mengekspresikan kedirian seperti itu, kecuali kata ”aing”.

Berbeda dengan kata “aing” yang masuk katagori bahasa Sunda kasar, kata “maneh” masih termasuk ke dalam katagori bahasa Sunda loma. Dengan begitu, penggunaan kata “maneh” masih dapat digunakan dalam perbincangan sehari-hari dengan teman sebaya.

Akan tetapi, tidak disarankan untuk menunjuk kepada orang tua menggunakan kata “maneh”. Kata lain yang dapat digunakan untuk menggantikan kata “maneh” ialah “hidep” atau “anjeun” (basa Sunda lemes) yang berarti “kamu”.

“Aing-Maneh” adalah Bahasa Sunda
Dari penjelasan di atas, bukan berarti penggunaan kata “aing” atau “maneh” sepenuhnya salah. Kata “aing” maupun “maneh” tentunya tetap dapat digunakan. Dengan memperhatikan situasi percakapan, kepada siapa kita berbicara, dan yang terpenting diiringi dengan bahasa Sunda pula! Karena “aing” dan “maneh” merupakah bahasa Sunda, sehingga tidak etis jika dicampuradukkan dengan bahasa lain.

Dengan demikian hendaklah bertutur dalam bahasa yang baik dengan mengikuti pedoman yang ada. Jika ingin bertutur dalam bahasa Sunda, bertuturlah dengan baik sesuai dengan Undak-Usuk Basa.

Sebagai orang Sunda, kita harus mampu menyosialisasikan kepada mereka yang bukan orang Sunda bahwa bahasa Sunda memiliki tatanan bahasa yang mengatur cara kita berkomunikasi. Mereka tidak dapat serta merta menggunakan “aing” dan “maneh” untuk menggantikan kata “aku-kamu” tanpa memperhatikan kepada siapa ia berbicara dan pada situasi seperti apa ia berbicara.

“Aing-maneh” adalah bahasa Sunda. Bukan bahasa gaul yang kemudian dapat dikombinasikan dengan bahasa lain di luar Bahasa Sunda.

Bulan Bahasa dan Sastra Nasional
Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Nasional, hal ini mengacu pada salah satu ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober yang berbunyi “Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan. Bahasa Indonesia.”

Melalui ikrar ini, dapat diketahui jika Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan budaya. Yang mana maing-masing suku dan budaya ini memiliki bahasa daerah masing-masing. Maka dari itu, Bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi yang mampu dipahami oleh berbagai kalangan.

Pada Bulan Bahasa dan Sastra Nasional ini, diharapkan masyarakat Indonesia lebih bijak lagi dalam berbahasa. Bahasa memang selalu berkembang, kosakata pun semakin bertambah seiring banyaknya penemuan-penemuan baru.

Namun, alangkah baiknya jika kemurnian Bahasa Indonesia tidak dinodai dengan penggunaan bahasa-bahasa yang biasa dikatakan “gaul” ataupun bahasa lainnya yang bukan Bahasa Indonesia.

Jika ingin berbahasa Indonesia, berbahasalah dengan baik. Tidak usah menggunakan kata “aing” atau “maneh”, sila gunakan “aku-kamu” atau “saya-anda”. Berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak membuat kamu di cap sebagai anak yang kurang pergaulan (kuper), bukan? Sudah saatnya, kita sebagai generasi penerus bangsa bangga dengan bahasa kita sendiri. Bahasa Indonesia.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER